HTTRACK Download All Pages

I knew about httrack since >15yrs ago. Back then only for trying tools on Linux. I found it because back then I wanted to download a whole website. Internet connection was a privilege back then, at least here in Indonesia.

Funny thing is, I totally can’t remember what’s the exact command to actually download the whole web pages in a website. I had to google a bit harder to find the right command. Below is the example. I will put it here as a reference.

httrack https://www.targetwebsite.com/ -v -s0 -F "Mozilla/5.0 (Windows NT 10.0; Win64; x64) AppleWebKit/537.36 (KHTML, like Gecko) Chrome/74.0.3729.169 Safari/537.36" -%c2 -%B -%s -%v -A0

*Replace targetwebsite.com with the actual website domain.

Why would I download a whole website in this era? Well.., I want to take down one of my website but still has archive for it locally.

On Meetups

In the old days (younger me), I used to attend some meetups regularly. It’s becoming less and less as I get older.

Now that I see a lot of meetups still happening (by younger folks of course), it made me realize one thing. For me those meet up during my college time was a lot meaningful then meetups that I attend during my mid/early days in professional career.

Meaningful meaning converting to something significant. During my college year, it could be as simple as gaining significant knowledge, networking with key people that significantly impact my career journey, or simply getting a paid projects. This is on top of having a good time (joking around, go visit new places, enjoy new food).

During early days in my professional career, only some of them converted like this. Mostly it’s just pure networking (building a new networking or enhance current one), chilling and having a good time.

I still got some significant output (or you can call it conversion) through new networking. But majority of it is no longer from meetups, it’s from referral. Someone refer me to someone, and it’s converted to something significant.

Logically this is expected. As we grow older, have spouse, kids, we are basically having more responsibilities. Many times more responsibility align with more time needed. Hence it forces us to choose networking wisely. Optimizing it to more significant output rather than chilling and having a good time.

Refresh Rate Option Not Showing Up on Mac OS – Dell Monitor [Solved]

I’m using 2 MacBooks with Silicon Chip M2. One running in Ventura, the other one running with Monterey.

I was using an old USB Type C adaptor to connect my Mac to external Dell monitor. It works just find (plug and play) for both Macs.

Couple of weeks ago I bought a new adaptor. This one has more USB 3.0 port and a microSD card reader. Only today I get a chance to use it and this is the frustrating part.

I tried to use this new adaptor on both of my Macs, but it didn’t work as the old adaptor. Not sure why, because the setup was identical with the old one: Macbook -> Type C adaptor -> HDMI cable -> Dell monitor.

I got this error message from the Dell monitor:

The current input timing is not supported by the monitor display. Please change your input timing to 1920×1080@60Hz or any other monitor

Of course, Google is my friend. But not many solution available (especially for MacOS Ventura). Most of the result is for Windows, or older Mac OS version. These are the common solutions:

  1. Go to System Setting -> Display -> Select the Extender Monitor -> Enable list of other Resolution, try which one works for you. This didn’t work for me, because there is not even an option to show the list of Resolution.
  2. Go to System Setting -> Display -> Select Ext. Monitor -> Click one of the scale option -> Right click. A bit oh hope, there was an option to show list of Resolution. I tried to change to other resolution, nothing works. I notice the Refresh rate is still selected to 25hz and no other option available.
  3. Shut Down -> Turn on again and go to Safe Mode (a lot of tutorial to do this). In this Safe Mode, go to System Setting -> Display -> Select Ext. Monitor -> go to Refresh Rate. Voila.. Now other option available. I choose 60hz and it worked. But this is still in Safe Mode. When I restart to normal mode, it no longer work. There is a tip to disable everything in “Login Item” option in System Setting -> General to make this work. But it didn’t work for me. Tried it couple of times with no luck.

Finally.. this is what works for me (with my Venture OS Macbook). I found this by accidentally pressing Option key on the keyboard.

This is the step by step (in normal mode, not in Safe Mode):

  1. Go to System Setting -> Display -> Select Ext. Monitor
  2. While pressing Option key -> Click one of the scale option. It’ll show a bunch of resolution option. I choose the same resolution (1920 x 1080) with text “lower resolution” next to it.
  3. Go to Refresh Rate. While pressing Option key click the list -> other options showing up. I chose 60hz.
  4. Voillaaa…! It works. That’s it!

P.S:. Not sure why Apple choose to go to a great length just to hide all of these important options. 😐

Anyway.. Yes, you’re welcome. 🙂

Karir, Jalan Tol dan Google Maps

Perjalanan Tol BSD Bintaro – SCBD

Saya bertemu dengan banyak teman semasa sekolah. Bertemu lagi dengan banyak teman semasa kuliah. Lalu setelah bekerja secara profesional selama lebih dari 10 tahun saya bertemu lagi dengan banyak teman dari dunia profesional.

Dari banyak teman-teman ini, saya melihat banyaknya perubahan karir seseorang. Sama seperti halnya ketika saya melihat banyaknya kendaraan yang saling berpacu sejak di jalan tol dalam perjalanan menuju kawasan SCBD, Jakarta.

Privilege privilege …

Betul, di jalan pun tidak semua orang memulai dengan kondisi yang sama. Walaupun sama-sama mengendarai mobil, ada yang pakai mobil tua, ada yang pakai mobil ukuran kecil tapi CC nya besar, ada yang pakai mobil elektrik, dsb. Semua punya kelebihan kekurangan. Itulah privilege bawaan sebelum masuk tol. Seperti juga setiap orang bisa jadi kuliah di jurusan dan kampus yang sama, tapi dengan latar belakang keluarga dan ekonomi yang berbeda jauh. Ada yang orang tua nya berpangkat, ada yang petani, ada yang PNS, ada yang pengusaha sukses, tapi ada juga yang yatim piatu.

Masuk Tol

Berangkat menuju SCBD. Masuk gerbang tol, pilihan gerbang ada banyak. Kita anggap semua akhirnya memilih gerbang tol masing – masing. Mulai dari “nol”, walaupun dengan mobil yang berbeda-beda. Karena jalan bebas hambatan, faktor jenis mobil tentu berpengaruh. Tetapi cara berkendara di jalan tol pun sangat berpengaruh. Mereka yang mengendarai Mercedez Benz tapi sambil asik main TikTok bisa jadi mengalami kecelakaan. Akhirnya mereka akan terjebak di tol dan akan terlambat dibanding dengan mereka yang mengendari Suzuki Baleno tahun 2001.

Tapi yang paling sadis (dan ini sering juga terjadi), ada juga yang tidak sadar. Mengendarai Toyota Kijang tahun 90-an, mesinnya sering mogok, lampu sen tidak menyala, bensin tipis, tapi tetap menyetir sambil asik main TikTok di jalan tol. Celaka besar.

Inilah analogi masa-masa kuliah.

Keluar Tol

Keluar tol seperti Exit Tol Ciledug itu tanpa gerbang khusus. Jadi tidak semua mobil bisa keluar bebarengan. Apa yang terjadi selama di jalan tol tadi sangat menentukan. Satu per satu mobil keluar tol, dan masuk ke jalan umum, melanjutkan perjalanan menuju SCBD.

Inilah masa masuk dunia kerja. Tidak semua memulainya bersamaan.

Jalan Raya

Untuk yang biasa lewat jalan Ciledug Raya (Jakarta Selatan), pasti familiar dengan macetnya di kala pagi hari. Mobil-mobil yang sudah keluar tol pukul 9.00, mungkin belum beranjak jauh di pukul 9.30. Karena inilah dunia nyata. Aturan dan keleluasaan di jalan tol tadi sudah tidak berlaku.

Suzuki Baleno tahun 2001 yang sudah keluar tol sejak pukul 9.00 bisa jadi akan tersusul juga oleh Tesla yang baru keluar tol pukul 9.30. Bukan cuma karena mesin mobil yang lebih canggih, power steering yang lebih nyaman, dll. Abang-abang ojek yang suka menyalip dan muncul dari antah berantah akan sangat berpengaruh. Atau bisa jadi ada angkot yang tiba-tiba berhenti lama untuk menunggu penumpang naik, membuat Baleno tua tadi makin terlambat.

Ketika Tesla dan Baleno tua ini sudah sejajar pun, karakter mengemudi sangat berpengaruh. Ketika sudah sejajar, lalu 2 jalur menjadi 1 jalur di sekitar Carrefour Kebayoran Lama, apakah pengemudi Tesla dan Baleno mau sama-sama ngotot?

Pengemudi Baleno bisa saja berpikir “Ah, mobil tua gini, gak takut gue lecet..” Tapi pengemudi Tesla juga bisa berpikir “Ah, mobil gue pake asuransi gini. Lagian kalo masuk bengkel gue masih ada mobil lain”.

Jika salah satu ada yang mengalah, lalu tertinggal, mereka mungkin akan bertemu lagi dan sejajar lagi di lampu merah. Ini karena ada begitu banyak lampu merah yang harus dilalui menuju SCBD. Atau bisa jadi mereka akhirnya bisa saling menyusul karena salah satu dari mereka menggunakan Google Maps dan bisa menemukan jalur alternatif.

Seperti itu pulalah dunia kerja. Karakter kita, cara kita menghadapi situasi dan proses kreatif untuk menemukan “jalur alternatif” itu juga berpengaruh.

Semesta

Dengan perjalanan di atas, saya melihat beberapa pengemudi yang membawa jenis kendaraan yang berbeda-beda punya kemungkinan yang relatif sama untuk tiba di SCBD tepat waktu. Jadi apakah artinya “perjalanan” untuk semua orang itu adil?

Adil sulit untuk saya terapkan di sini, karena definisi adil tiap orang pun berbeda.

Tapi memang ada saja Tesla yang keluar dari Exit Tol Ciledug pukul 9.30, selalu mendapatkan lampu hijau di setiap persimpangan, tidak bertemu dengan ojek berandalan atau truk besar, jadi bisa tiba di SCBD pukul 9.50. Padahal nyetirnya sambil main TikTok.

Di satu sisi, ada juga Baleno tua yang sudah keluar tol pukul 9.00, mulus juga selalu bertemu lampu hijau, tidak ada ojek berandalan atau truk besar. Tapi tetap tiba di SCBD terlambat, pukul 10.15. Kenapa? Karena tepat di persimpangan masuk SCBD ada truk semen yang mundur tiba-tiba sehingga menyenggol kendaraan lain dan membuat jalanan macet total.

Tapi itulah cara semesta bekerja. Suka tidak suka.

Ganti Tujuan

Ketika memasuki perempatan Bulungan, dan kendaraan lain yang tadinya sejajar tidak kelihatan, mungkin sudah bisa ditebak siapa yang akan sampai di SCBD duluan. Tapi siapa sangka, justru di saat-saat terakhir kendaraan lain itu malah berhenti di Gunawarman. Karena tujuannya memang ke situ, kita saja yang berasumsi bahwa kita sama-sama menuju SCBD.

Memang idak jarang saya lihat orang-orang mengubah tujuannya. Awalnya memang semua menuju SCBD. Tetapi belakangan masing-masing ada yang berbelok ke tujuan yang berbeda. Walaupun tadi melewati jalan tol yang sama dan bergantian saling mendahului sebelum lampu merah.

Begitu juga dalam karir. Tidak semua orang akhirnya berambisi untuk selalu naik jabatan hingga menduduki posisi paling puncak. Ada yang lebih memilih ritme kerja yang stabil ketimbang posisi yang lebih tinggi. Pilihan klasik juga seringkali jadi pertimbangan: Antara pemasukan yang semakin besar, atau menjaga work-life balance.

Google Maps

Fitur simulasi di Google Maps itu luar biasa. Kita bisa memperkirakan jalur yang akan kita ambil berikut estimasi waktu tempuhnya.

Dalam karir saya rasa itu perlu juga. Tentukan tujuan, lalu estimasi jalurnya. Setelah itu pilihlah salah satu jalur, mulai perjalanan dan beradaptasi lah di jalan. Perbaiki terus sikap dalam berkendara, memilih waktu yang tepat untuk berganti jalur, dan tidak perlu kecewa ketika bertemu lampu merah. Perjalanan harus tetap dilanjutkan.

Tidak salah untuk membuka kembali “Google Maps” ketika jalanan macet, saat berhenti di lampu merah, atau bahkan ketika sudah tiba di parkiran SCBD. Tidak hanya untuk mencari jalur alternatif menuju SCBD, tapi juga untuk memastikan kembali, apakah memang kita mau menuju SCBD?

DAW Profesional Gratis: Cakewalk by Bandlab

Cakewalk by Bandlab with TH3 Guitar Amp Simulation

Sekitar 5 tahun lalu, saya sempat mencari-cari DAW (Digital Audio Workstation) untuk saya pribadi, yang akhirnya jatuh ke Logic Pro X.

Salah satu kekhawatiran saya waktu itu memang gimana kalau nanti saya beralih sistem operasi ke Windows, karena Logic Pro X ini hanya tersedia di macOS.

Dan benarlah, akhirnya saya memasang Windows 10 di laptop Macbook Pro 2012 saya. Terpaksa saya cari lagi DAW baru, untuk Windows. Tapi karena saya sudah sangat jarang berkreasi membuat musik, rasanya kalau beli lagi (FL Studio / Ableton / Reason, dll) kok sayang ya. Jadi cari yang gratisan saja lah.

Pikiran pertama langsung ke LMMS, DAW yang memang sudah saya kenal sejak jaman masih aktif pakai Linux, karena LMMS juga free & opensource seperti Linux. Interface nya masih tetap membingungkan, haha. Tapi okelah buat iseng-iseng saja. Tapi belakangan saya baru tahu LMMS belum support live recording. Harus rekam di tools lain dulu, misal Audacity. Wah repot deh. Uninstall sudah.

Pikiran kedua adalah Ardour, free & opensource juga. Saya heran sendiri, kenapa dulu saya gak pake Ardour aja di Mac ya? Gratis juga. Setelah buka webnya saya inget lagi. Walaupun Ardour opensource dan free (bebas), tapi versi compile untuk Windows nya gak tersedia. Harus compile sendiri. Atau kalau mau dibuatin bayar. Oke, skip kalo gitu.

Googling sedikit, ketemu Cakewalk by Bandlab. Ini software lama sebenarnya, tapi company nya baru diakuisi. Jadi kalau yang dulu familiar dengan DAW SONAR (berbayar), pasti familiar juga dengan SONAR Premium, versi SONAR yang paling mahalnya. Nah, SONAR Premium ini sekarang berubah nama jadi Cakewalk by Bandlab plus sekarang gratis. Gak cuma DAW nya saja, tapi bawaannya sudah ada plugins-plugins juga. Bahkan kalau mau sample sound ada dari Bandcamp. Wow!

Saya belum pernah pake SONAR. Tapi karena saya sudah pakai Logic Pro X, ternyata mirip-mirip interface nya. Langsung saya bisa pakai. Dan sama seperti Logic, Cakewalk by Bandlab ini punya bawaan plugin untuk simulasi guitar amp + effect, namanya TH3. Makin mantap lagi, karena sebenarnya saya butuh DAW nya untuk main gitar aja kalo sekarang.

Minusnya sih so far satu aja, cuma tersedia di Windows. Tapi ya…, kayaknya kalau saya beli laptop baru gak mau beli Mac lagi sih (tulisan lain lah ini).

BISUK – Novel Thriller Misteri Indonesia Original

Ya, gak bener-bener novel sih sebenarnya. Ditulisnya di Wattpad, dan masih ongoing.

Jadi ceritanya saya suka film dan novel bergenre thriller misteri. Lebih tepatnya ke segmen yang berkaitan dengan politik, mafia dan keuangan. Sayangnya tak banyak novel apalagi film Indonesia yang bergenre seperti ini. Dulu pernah saya ulas juga di blog ini.

Akhirnya, saya menulis sendiri. Genre yang persis seperti yang saya inginkan. Tokohnya agak banyak, dan plotnya juga banyak “belokan”-nya. Jadi sabar ya.

Anda bisa baca di Wattpad, cari saja dengan judul BISUK, atau klik langsung di sini. Tenang, gratis kok.

Kalau ada kritik atau saran, boleh banget ditinggalin di kolom komentarnya.

Menghitung Valuasi/Harga Saham dengan DCF

Rumus DCF (Discounted Cash Flow)

Di sini saya bukan mau bahas rumusnya. Udah banyak yang bahas di blog ataupun di YouTube. Cuma mau bahas soal 1 detail yang mengganggu.

DCF itu adalah Discounted Cash Flow. Dalam perhitungan DCF yang digunakan adalah Free Cash Flow. Nah, Free Cash Flow (FCF) ini ada 2 jenis, FCFF dan FCFE.

FCFF: Free Cash Flow to Firm (Cashflow yang bisa diklaim seluruh “claim holder” baik pemilik saham maupun pemilik obligasi/surat hutang dari perusahaan tersebut)

FCFE: Free Cash Flow to Equity (Cashflow yang bisa diklaim pemilik Equity/saham)

Nah yang saya maksud detail yang mengganggu tadi adalah banyak tutorial yang mengajarkan soal menghitung DCF, tapi kurang detail soal Discount Rate/Interest nya.

Jika kita menghitung DCF dengan FCFF maka Discount rate yang digunakan seharusnya adalah Cost of Capital atau WACC (Weighted Average Cost of Capital).

Tapi, jika menghitung dengan FCFE, maka Discount rate yang digunakan seharusnya adalah Cost of Equity.

Saya menemukan beberapa tutorial yang terbalik. Menghitung FCFF tapi dengan menggunakan Cost of Equity sebagai Discount Rate, ataupun sebaliknya menghitung FCFE tapi dengan WACC. Jadinya tidak tepat.

Jadi inget-inget ya nanti kalau itung DCF, jangan kebalik.

Bursa Saham untuk Investor atau Trader

Banyak artikel yang menyebutkan bahwa bursa saham itu adalah tempat di mana orang-orang bisa jadi investor (pemilik) bisnis dengan mudah. Hanya saja banyak yang memanfaatkannya untuk trading (jual-beli) pendek untuk meraih profit short-term. Saya pun berpikir begitu tadinya.

Tapi secara umum, kenapa kebanyakan orang yang saya temui, atau saya baca-baca di forum atau milis malah trader? Bahkan katanya 90% lebih itu malah trader, bukan investor.

Saya pikir-pikir lagi, mungkin benar bahwa awalnya bursa saham (seperti sekarang) itu dirancang untuk orang bisa jadi investor dengan mudah. Tapi pada prakteknya sebenarnya justru bursa saham itu memang diciptakan untuk para trader.

Jika kita lihat semua fitur-fitur dan fungsi-fungsinya itu memang dirancang untuk memudahkan para trader. Mereka butuh transaksi yang cepat dalam jumlah banyak, analisa data-data transaksi yang rumit dan fleksibel. Tipe investor justru tidak butuh fitur sebanyak itu. Tipe investor tidak perlu fitur secepat dan sekompleks itu.

Jadi jangan heran kalau diskusi soal saham banyak didominasi oleh para trader.

Masuk akal?

WordPress Baru yang Bikin Kaget

Sejujurnya saya udah lama banget gak ngikutin perkembangan WordPress. Saya gak paham apa saja fitur-fitur barunya. Hanya sesekali (mungkin 1 atau 2 kali dalam 1 semester) saya login ke blog ini, ataupun ke Labana.ID.

Ketika login, saya melihat notifikasi di sekitar pojok kiri atas, ada beberapa update. Karena kebiasaan di Android “Update All”, di WordPress saya juga melakukan hal yang sama. Saya centang saja semua update Plugins, Themes dan WordPress nya sendiri.

Tapi saya jadi kaget sendiri ketika mau mengedit salah satu tulisan lama saya. Sekarang WordPress ternyata punya fitur semacam Medium. Anda bisa menulis langsung dalam mode “preview” dan disusun dalam mode blok-blok gitu, ala lego.

Agak janggal sih bagi saya. Karena saya termasuk rewel urusan ini. Saya harus tau persis kode HTML yang bisa dipakai kaya apa. Jadi bukan mode WYSIWYG gitu. Atau mungkin karena belum terbiasa aja kali ya.

Ya itu juga kenapa ada tulisan ini sekarang, biar nyobain nulis pake fitur baru blog ini. Pluas biar ada posting perdana di 2020 juga sih. Mudah-mudahan gak kaya kartu SIM Card ya, habis perdana terus buang.

Perubahan

Waktu berubah. Cuaca berubah. Tantangan berubah. Kehidupan berubah.
Frekuensi menulis di blog ini juga berubah. Dari ratusan tulisan setahun, ke 3 tulisan setahun. Mudah-mudahan hanya berubah, tidak mati. Sudah 15 tahun usia blog ini. Jangan layu sebelum berkembang. Menualah bersama.

Fruity Loops Edisi macOS sudah Tersedia

Ini udah agak lama sih sebenernya. Gue aja yang telat tahu. Tahunya juga gara-gara Instagramnya Saykoji. Dulu pas menimbang-nimbang soal Logic Pro X, gak jadi milih FL Studio alesannya karena FL Studio gak ada di Mac. Selain itu, kudu beli VST banyak kayaknya. Harganya sama persis $199.

Anyway, setelah coba download versi trialnya, kayaknya emang kurang nyaman juga sih FL edisi macOS. Kaya ke-zoom gitu User Interfacenya.

Tapi wishlistnya tetep Ableton lah. Cuma harganya gak karu-karuan. Maklum, gue cuma pehobi aja.

Pengemudi BlueBird: Dari Jam 3 Pagi Sampai Malam, Saya Baru Dapat Segini, Mas!

Semalam saya akhirnya naik taksi lagi, karena butuh cepat, kelihatan BlueBird di jalan, langsung stop, terus berangkat.

Saya sebenarnya menghindari topik pembicaraan soal demo kemarin. Takut menyinggung atau salah paham. Karena saya kurang simpatik dengan aksi mereka. Tapi tak disangka, justru pengemudinya yang duluan mengajak saya berbicara soal ini.

Pengemudi (P): Lihat berita soal demo taksi kemarin, Mas?

Saya (S): Iya. Rame banget ya. (berusaha netral)

P: Saya ikut tuh, Mas. (bangga)

S: Oh gitu, dari perusahaan emang ngutus ya? (sekalian lah, saya tanya aja)

P: Enggak sih. Itu demo paguyuban pengemudi, perusahaan gak ada hubungan. Jadi tiap pool taksi ngirim 20 orang.

S: Tapi kok di jalanan kayaknya banyak banget, Mas?

P: Ya itu yang ikut-ikutan. Kalau yang resmi itu, di tangannya diikat pita hitam. Itu yang rusuh-rusuh itu bukan yang demo resmi, Mas.

S: Tapi tetep aja pengemudi BlueBird kan?

P: Yang seragam biru dan mirip kaya kami kan bukan BlueBird aja, Mas. Orang-orang main tuduh aja.

S: Lah, videonya jelas gitu kok. Orang justru jadi kurang simpatik karena jelas banyak bukti-bukti videonya, Mas.

..hening..

S: Tapi sebenarnya kalau Mas sendiri, apa sih yang dituntut soal Uber sama GrabCar?

P: Ya ijinnya, sama tarifnya, Mas. Tarifnya kok kaya gitu. Harusnya disetarain lah sama yang lain.

S: Kalau soal ijin, mungkin ya. Saya gak paham sih soal hukum. Kalau soal tarif, kenapa pengemudi gak minta ke perusahaan buat nurunin tarif ya? Biar sama gitu dengan Uber atau GrabCar?

P: Ya mana mungkin, Mas. Kami ini rugi terus sekarang sejak ada taksi online-online ini.

S: Saya gak tahu sih kalau misal diturunin, perusahaan jadi rugi atau enggak, tapi kalau lihat laporan keuangan perusahaan BlueBird sih, akhir tahun 2015 aja, keuntungannya udah 800-an miliar loh, Mas. Itu udah untung loh, Mas. Bukan pemasukan. Apa gak mending ngurangin keuntungan perusahaan biar pengemudinya gak pusing. Kasih promo, atau bikin aplikasi yang sekelas online-online itulah gitu.

P: (hening)

Lalu si pengemudi berganti topik Read More