[Foto: superamit | flickr.com]

Mungkin kalian juga sudah baca tulisan Rhenald Kasali tentang “Sharing Economy”? Tulisan ini diforward dari milis ke milis, Facebook, group WhatsApp, dll. Cukup menggugah. Karena memang di tahun 2014 pun, ulasan Wired* tentang “Sharing Economy” juga cukup menggugah.

*Tulisan Wired itu menekankan bahwa Sharing Economy itu maju karena dasarnya adalah rasa saling percaya (trust). Tapi kemudian dibantah oleh NY Magz, yang menyatakan sebenarnya dasarnya adalah terdesak kebutuhan ekonomi. It’s all about money, not trust.

Saya termasuk setuju dengan banyak pandangan-pandangan Rhenald Kasali. Konsep-konsepnya bagus untuk memajukan anak muda, ekonomi dan nasionalisme. Tapi dari tulisannya kemarin soal Sharing Economy, saya cukup tercolek dengan bagian ini:

Sama juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya ide, lalu buat aplikasinya. Siapapun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan malam harinya kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu jasa keamanan atau pol taksi.

Ini mengingatkan saya pada obrolan tengah malam bersama Tista dan Komang di sebuah kafe 4 tahun lalu. Hipotesa saya: Di Indonesia, teknologi itu ya masih dipandang sepele. Yang penting itu ide, bisnis, manajemen, dll. Tidak heran dulu ada founder startup digital yang bilang “Technology doesn’t count”.

Saya sealiran sama Marc Andressen, Paul Graham, dll, yang intinya berprinsip “Idea is cheap, execution matters.” Karena kalau cuma ide, banyak sekali yang punya. Tapi yang nyoba eksekusi, apalagi eksekusi sampai berhasil, sangat sedikit. Karena eksekusi itu yang mahal. Facebook vs FriendSter, Google vs Yahoo Search, Android vs iOS. Idenya satu sama lain mirip-mirip (kalau gak mau dibilang sama), tapi eksekusi lah pembuktiannya. Dalam konteks tulisan di atas, maka eksekusi pembuatan aplikasinya lah yang penting, bukan soal idenya.

Tapi gak cuma ekonom aja sih yang berpandangan begitu. Dulu kan ada juga capres yang bilang “2 minggu bikin aplikasi selesai”. Hehe. Becanda loh ini..