Category: Umum

Refresh Rate Option Not Showing Up on Mac OS – Dell Monitor [Solved]

I’m using 2 MacBooks with Silicon Chip M2. One running in Ventura, the other one running with Monterey.

I was using an old USB Type C adaptor to connect my Mac to external Dell monitor. It works just find (plug and play) for both Macs.

Couple of weeks ago I bought a new adaptor. This one has more USB 3.0 port and a microSD card reader. Only today I get a chance to use it and this is the frustrating part.

I tried to use this new adaptor on both of my Macs, but it didn’t work as the old adaptor. Not sure why, because the setup was identical with the old one: Macbook -> Type C adaptor -> HDMI cable -> Dell monitor.

I got this error message from the Dell monitor:

The current input timing is not supported by the monitor display. Please change your input timing to 1920×1080@60Hz or any other monitor

Of course, Google is my friend. But not many solution available (especially for MacOS Ventura). Most of the result is for Windows, or older Mac OS version. These are the common solutions:

  1. Go to System Setting -> Display -> Select the Extender Monitor -> Enable list of other Resolution, try which one works for you. This didn’t work for me, because there is not even an option to show the list of Resolution.
  2. Go to System Setting -> Display -> Select Ext. Monitor -> Click one of the scale option -> Right click. A bit oh hope, there was an option to show list of Resolution. I tried to change to other resolution, nothing works. I notice the Refresh rate is still selected to 25hz and no other option available.
  3. Shut Down -> Turn on again and go to Safe Mode (a lot of tutorial to do this). In this Safe Mode, go to System Setting -> Display -> Select Ext. Monitor -> go to Refresh Rate. Voila.. Now other option available. I choose 60hz and it worked. But this is still in Safe Mode. When I restart to normal mode, it no longer work. There is a tip to disable everything in “Login Item” option in System Setting -> General to make this work. But it didn’t work for me. Tried it couple of times with no luck.

Finally.. this is what works for me (with my Venture OS Macbook). I found this by accidentally pressing Option key on the keyboard.

This is the step by step (in normal mode, not in Safe Mode):

  1. Go to System Setting -> Display -> Select Ext. Monitor
  2. While pressing Option key -> Click one of the scale option. It’ll show a bunch of resolution option. I choose the same resolution (1920 x 1080) with text “lower resolution” next to it.
  3. Go to Refresh Rate. While pressing Option key click the list -> other options showing up. I chose 60hz.
  4. Voillaaa…! It works. That’s it!

P.S:. Not sure why Apple choose to go to a great length just to hide all of these important options. 😐

Anyway.. Yes, you’re welcome. 🙂

Karir, Jalan Tol dan Google Maps

Perjalanan Tol BSD Bintaro – SCBD

Saya bertemu dengan banyak teman semasa sekolah. Bertemu lagi dengan banyak teman semasa kuliah. Lalu setelah bekerja secara profesional selama lebih dari 10 tahun saya bertemu lagi dengan banyak teman dari dunia profesional.

Dari banyak teman-teman ini, saya melihat banyaknya perubahan karir seseorang. Sama seperti halnya ketika saya melihat banyaknya kendaraan yang saling berpacu sejak di jalan tol dalam perjalanan menuju kawasan SCBD, Jakarta.

Privilege privilege …

Betul, di jalan pun tidak semua orang memulai dengan kondisi yang sama. Walaupun sama-sama mengendarai mobil, ada yang pakai mobil tua, ada yang pakai mobil ukuran kecil tapi CC nya besar, ada yang pakai mobil elektrik, dsb. Semua punya kelebihan kekurangan. Itulah privilege bawaan sebelum masuk tol. Seperti juga setiap orang bisa jadi kuliah di jurusan dan kampus yang sama, tapi dengan latar belakang keluarga dan ekonomi yang berbeda jauh. Ada yang orang tua nya berpangkat, ada yang petani, ada yang PNS, ada yang pengusaha sukses, tapi ada juga yang yatim piatu.

Masuk Tol

Berangkat menuju SCBD. Masuk gerbang tol, pilihan gerbang ada banyak. Kita anggap semua akhirnya memilih gerbang tol masing – masing. Mulai dari “nol”, walaupun dengan mobil yang berbeda-beda. Karena jalan bebas hambatan, faktor jenis mobil tentu berpengaruh. Tetapi cara berkendara di jalan tol pun sangat berpengaruh. Mereka yang mengendarai Mercedez Benz tapi sambil asik main TikTok bisa jadi mengalami kecelakaan. Akhirnya mereka akan terjebak di tol dan akan terlambat dibanding dengan mereka yang mengendari Suzuki Baleno tahun 2001.

Tapi yang paling sadis (dan ini sering juga terjadi), ada juga yang tidak sadar. Mengendarai Toyota Kijang tahun 90-an, mesinnya sering mogok, lampu sen tidak menyala, bensin tipis, tapi tetap menyetir sambil asik main TikTok di jalan tol. Celaka besar.

Inilah analogi masa-masa kuliah.

Keluar Tol

Keluar tol seperti Exit Tol Ciledug itu tanpa gerbang khusus. Jadi tidak semua mobil bisa keluar bebarengan. Apa yang terjadi selama di jalan tol tadi sangat menentukan. Satu per satu mobil keluar tol, dan masuk ke jalan umum, melanjutkan perjalanan menuju SCBD.

Inilah masa masuk dunia kerja. Tidak semua memulainya bersamaan.

Jalan Raya

Untuk yang biasa lewat jalan Ciledug Raya (Jakarta Selatan), pasti familiar dengan macetnya di kala pagi hari. Mobil-mobil yang sudah keluar tol pukul 9.00, mungkin belum beranjak jauh di pukul 9.30. Karena inilah dunia nyata. Aturan dan keleluasaan di jalan tol tadi sudah tidak berlaku.

Suzuki Baleno tahun 2001 yang sudah keluar tol sejak pukul 9.00 bisa jadi akan tersusul juga oleh Tesla yang baru keluar tol pukul 9.30. Bukan cuma karena mesin mobil yang lebih canggih, power steering yang lebih nyaman, dll. Abang-abang ojek yang suka menyalip dan muncul dari antah berantah akan sangat berpengaruh. Atau bisa jadi ada angkot yang tiba-tiba berhenti lama untuk menunggu penumpang naik, membuat Baleno tua tadi makin terlambat.

Ketika Tesla dan Baleno tua ini sudah sejajar pun, karakter mengemudi sangat berpengaruh. Ketika sudah sejajar, lalu 2 jalur menjadi 1 jalur di sekitar Carrefour Kebayoran Lama, apakah pengemudi Tesla dan Baleno mau sama-sama ngotot?

Pengemudi Baleno bisa saja berpikir “Ah, mobil tua gini, gak takut gue lecet..” Tapi pengemudi Tesla juga bisa berpikir “Ah, mobil gue pake asuransi gini. Lagian kalo masuk bengkel gue masih ada mobil lain”.

Jika salah satu ada yang mengalah, lalu tertinggal, mereka mungkin akan bertemu lagi dan sejajar lagi di lampu merah. Ini karena ada begitu banyak lampu merah yang harus dilalui menuju SCBD. Atau bisa jadi mereka akhirnya bisa saling menyusul karena salah satu dari mereka menggunakan Google Maps dan bisa menemukan jalur alternatif.

Seperti itu pulalah dunia kerja. Karakter kita, cara kita menghadapi situasi dan proses kreatif untuk menemukan “jalur alternatif” itu juga berpengaruh.

Semesta

Dengan perjalanan di atas, saya melihat beberapa pengemudi yang membawa jenis kendaraan yang berbeda-beda punya kemungkinan yang relatif sama untuk tiba di SCBD tepat waktu. Jadi apakah artinya “perjalanan” untuk semua orang itu adil?

Adil sulit untuk saya terapkan di sini, karena definisi adil tiap orang pun berbeda.

Tapi memang ada saja Tesla yang keluar dari Exit Tol Ciledug pukul 9.30, selalu mendapatkan lampu hijau di setiap persimpangan, tidak bertemu dengan ojek berandalan atau truk besar, jadi bisa tiba di SCBD pukul 9.50. Padahal nyetirnya sambil main TikTok.

Di satu sisi, ada juga Baleno tua yang sudah keluar tol pukul 9.00, mulus juga selalu bertemu lampu hijau, tidak ada ojek berandalan atau truk besar. Tapi tetap tiba di SCBD terlambat, pukul 10.15. Kenapa? Karena tepat di persimpangan masuk SCBD ada truk semen yang mundur tiba-tiba sehingga menyenggol kendaraan lain dan membuat jalanan macet total.

Tapi itulah cara semesta bekerja. Suka tidak suka.

Ganti Tujuan

Ketika memasuki perempatan Bulungan, dan kendaraan lain yang tadinya sejajar tidak kelihatan, mungkin sudah bisa ditebak siapa yang akan sampai di SCBD duluan. Tapi siapa sangka, justru di saat-saat terakhir kendaraan lain itu malah berhenti di Gunawarman. Karena tujuannya memang ke situ, kita saja yang berasumsi bahwa kita sama-sama menuju SCBD.

Memang idak jarang saya lihat orang-orang mengubah tujuannya. Awalnya memang semua menuju SCBD. Tetapi belakangan masing-masing ada yang berbelok ke tujuan yang berbeda. Walaupun tadi melewati jalan tol yang sama dan bergantian saling mendahului sebelum lampu merah.

Begitu juga dalam karir. Tidak semua orang akhirnya berambisi untuk selalu naik jabatan hingga menduduki posisi paling puncak. Ada yang lebih memilih ritme kerja yang stabil ketimbang posisi yang lebih tinggi. Pilihan klasik juga seringkali jadi pertimbangan: Antara pemasukan yang semakin besar, atau menjaga work-life balance.

Google Maps

Fitur simulasi di Google Maps itu luar biasa. Kita bisa memperkirakan jalur yang akan kita ambil berikut estimasi waktu tempuhnya.

Dalam karir saya rasa itu perlu juga. Tentukan tujuan, lalu estimasi jalurnya. Setelah itu pilihlah salah satu jalur, mulai perjalanan dan beradaptasi lah di jalan. Perbaiki terus sikap dalam berkendara, memilih waktu yang tepat untuk berganti jalur, dan tidak perlu kecewa ketika bertemu lampu merah. Perjalanan harus tetap dilanjutkan.

Tidak salah untuk membuka kembali “Google Maps” ketika jalanan macet, saat berhenti di lampu merah, atau bahkan ketika sudah tiba di parkiran SCBD. Tidak hanya untuk mencari jalur alternatif menuju SCBD, tapi juga untuk memastikan kembali, apakah memang kita mau menuju SCBD?

BISUK – Novel Thriller Misteri Indonesia Original

Ya, gak bener-bener novel sih sebenarnya. Ditulisnya di Wattpad, dan masih ongoing.

Jadi ceritanya saya suka film dan novel bergenre thriller misteri. Lebih tepatnya ke segmen yang berkaitan dengan politik, mafia dan keuangan. Sayangnya tak banyak novel apalagi film Indonesia yang bergenre seperti ini. Dulu pernah saya ulas juga di blog ini.

Akhirnya, saya menulis sendiri. Genre yang persis seperti yang saya inginkan. Tokohnya agak banyak, dan plotnya juga banyak “belokan”-nya. Jadi sabar ya.

Anda bisa baca di Wattpad, cari saja dengan judul BISUK, atau klik langsung di sini. Tenang, gratis kok.

Kalau ada kritik atau saran, boleh banget ditinggalin di kolom komentarnya.

Menghitung Valuasi/Harga Saham dengan DCF

Rumus DCF (Discounted Cash Flow)

Di sini saya bukan mau bahas rumusnya. Udah banyak yang bahas di blog ataupun di YouTube. Cuma mau bahas soal 1 detail yang mengganggu.

DCF itu adalah Discounted Cash Flow. Dalam perhitungan DCF yang digunakan adalah Free Cash Flow. Nah, Free Cash Flow (FCF) ini ada 2 jenis, FCFF dan FCFE.

FCFF: Free Cash Flow to Firm (Cashflow yang bisa diklaim seluruh “claim holder” baik pemilik saham maupun pemilik obligasi/surat hutang dari perusahaan tersebut)

FCFE: Free Cash Flow to Equity (Cashflow yang bisa diklaim pemilik Equity/saham)

Nah yang saya maksud detail yang mengganggu tadi adalah banyak tutorial yang mengajarkan soal menghitung DCF, tapi kurang detail soal Discount Rate/Interest nya.

Jika kita menghitung DCF dengan FCFF maka Discount rate yang digunakan seharusnya adalah Cost of Capital atau WACC (Weighted Average Cost of Capital).

Tapi, jika menghitung dengan FCFE, maka Discount rate yang digunakan seharusnya adalah Cost of Equity.

Saya menemukan beberapa tutorial yang terbalik. Menghitung FCFF tapi dengan menggunakan Cost of Equity sebagai Discount Rate, ataupun sebaliknya menghitung FCFE tapi dengan WACC. Jadinya tidak tepat.

Jadi inget-inget ya nanti kalau itung DCF, jangan kebalik.

Bursa Saham untuk Investor atau Trader

Banyak artikel yang menyebutkan bahwa bursa saham itu adalah tempat di mana orang-orang bisa jadi investor (pemilik) bisnis dengan mudah. Hanya saja banyak yang memanfaatkannya untuk trading (jual-beli) pendek untuk meraih profit short-term. Saya pun berpikir begitu tadinya.

Tapi secara umum, kenapa kebanyakan orang yang saya temui, atau saya baca-baca di forum atau milis malah trader? Bahkan katanya 90% lebih itu malah trader, bukan investor.

Saya pikir-pikir lagi, mungkin benar bahwa awalnya bursa saham (seperti sekarang) itu dirancang untuk orang bisa jadi investor dengan mudah. Tapi pada prakteknya sebenarnya justru bursa saham itu memang diciptakan untuk para trader.

Jika kita lihat semua fitur-fitur dan fungsi-fungsinya itu memang dirancang untuk memudahkan para trader. Mereka butuh transaksi yang cepat dalam jumlah banyak, analisa data-data transaksi yang rumit dan fleksibel. Tipe investor justru tidak butuh fitur sebanyak itu. Tipe investor tidak perlu fitur secepat dan sekompleks itu.

Jadi jangan heran kalau diskusi soal saham banyak didominasi oleh para trader.

Masuk akal?

WordPress Baru yang Bikin Kaget

Sejujurnya saya udah lama banget gak ngikutin perkembangan WordPress. Saya gak paham apa saja fitur-fitur barunya. Hanya sesekali (mungkin 1 atau 2 kali dalam 1 semester) saya login ke blog ini, ataupun ke Labana.ID.

Ketika login, saya melihat notifikasi di sekitar pojok kiri atas, ada beberapa update. Karena kebiasaan di Android “Update All”, di WordPress saya juga melakukan hal yang sama. Saya centang saja semua update Plugins, Themes dan WordPress nya sendiri.

Tapi saya jadi kaget sendiri ketika mau mengedit salah satu tulisan lama saya. Sekarang WordPress ternyata punya fitur semacam Medium. Anda bisa menulis langsung dalam mode “preview” dan disusun dalam mode blok-blok gitu, ala lego.

Agak janggal sih bagi saya. Karena saya termasuk rewel urusan ini. Saya harus tau persis kode HTML yang bisa dipakai kaya apa. Jadi bukan mode WYSIWYG gitu. Atau mungkin karena belum terbiasa aja kali ya.

Ya itu juga kenapa ada tulisan ini sekarang, biar nyobain nulis pake fitur baru blog ini. Pluas biar ada posting perdana di 2020 juga sih. Mudah-mudahan gak kaya kartu SIM Card ya, habis perdana terus buang.

Pengemudi BlueBird: Dari Jam 3 Pagi Sampai Malam, Saya Baru Dapat Segini, Mas!

Semalam saya akhirnya naik taksi lagi, karena butuh cepat, kelihatan BlueBird di jalan, langsung stop, terus berangkat.

Saya sebenarnya menghindari topik pembicaraan soal demo kemarin. Takut menyinggung atau salah paham. Karena saya kurang simpatik dengan aksi mereka. Tapi tak disangka, justru pengemudinya yang duluan mengajak saya berbicara soal ini.

Pengemudi (P): Lihat berita soal demo taksi kemarin, Mas?

Saya (S): Iya. Rame banget ya. (berusaha netral)

P: Saya ikut tuh, Mas. (bangga)

S: Oh gitu, dari perusahaan emang ngutus ya? (sekalian lah, saya tanya aja)

P: Enggak sih. Itu demo paguyuban pengemudi, perusahaan gak ada hubungan. Jadi tiap pool taksi ngirim 20 orang.

S: Tapi kok di jalanan kayaknya banyak banget, Mas?

P: Ya itu yang ikut-ikutan. Kalau yang resmi itu, di tangannya diikat pita hitam. Itu yang rusuh-rusuh itu bukan yang demo resmi, Mas.

S: Tapi tetep aja pengemudi BlueBird kan?

P: Yang seragam biru dan mirip kaya kami kan bukan BlueBird aja, Mas. Orang-orang main tuduh aja.

S: Lah, videonya jelas gitu kok. Orang justru jadi kurang simpatik karena jelas banyak bukti-bukti videonya, Mas.

..hening..

S: Tapi sebenarnya kalau Mas sendiri, apa sih yang dituntut soal Uber sama GrabCar?

P: Ya ijinnya, sama tarifnya, Mas. Tarifnya kok kaya gitu. Harusnya disetarain lah sama yang lain.

S: Kalau soal ijin, mungkin ya. Saya gak paham sih soal hukum. Kalau soal tarif, kenapa pengemudi gak minta ke perusahaan buat nurunin tarif ya? Biar sama gitu dengan Uber atau GrabCar?

P: Ya mana mungkin, Mas. Kami ini rugi terus sekarang sejak ada taksi online-online ini.

S: Saya gak tahu sih kalau misal diturunin, perusahaan jadi rugi atau enggak, tapi kalau lihat laporan keuangan perusahaan BlueBird sih, akhir tahun 2015 aja, keuntungannya udah 800-an miliar loh, Mas. Itu udah untung loh, Mas. Bukan pemasukan. Apa gak mending ngurangin keuntungan perusahaan biar pengemudinya gak pusing. Kasih promo, atau bikin aplikasi yang sekelas online-online itulah gitu.

P: (hening)

Lalu si pengemudi berganti topik Read More

Novel-Novel Thriller Indonesia

[Ilustrasi: pexels.com]

UPDATE: Saya akhirnya menulis novel saya sendiri di genre ini. Judulnya BISUK, bisa dibaca di Wattpad, gratis kok.

Kalau ditanya soal film, saya senang genre thriller yang penuh intrik politik, “detektif-detektifan”, mafia, perebutan kekuasaan dan plot twist yang tak terduga. Contohnya seperti film Game of Thrones, House of Card, The Godfather, The Good Fellas, Billions, Designated Survivor, The Wire, Miss Sloane, dkk. Sayangnya, di Indonesia jarang sekali ada film bergenre seperti ini. Setahu saya (film modern) Indonesia yang bergenre seperti ini paling-paling cuma film “2014: Siapa di Atas Presiden?

Karena film Indonesia jarang yang bergenre seperti ini, akhirnya saya memutuskan berganti ke novel. Ternyata novel bergenre seperti ini pun jarang ada. Saya awalnya hanya tahu 2 novel karya Tere Liye saja yang masuk kriteria saya ini: Negeri di Ujung Tanduk, dan Negeri Para Bedebah. Cukup lumayan plotnya. Saya cuma kurang cocok di gaya bahasanya yang terlalu kaku. Mungkin niatnya nyeni gitu ya. Maklumlah, saya bukan pecinta sastra yang sampai gimana gitu.

Belakangan saya tahu ada novel Indonesia berjudul Sudut Mati karya Tsugaeda. Lumayan, tapi masih kurang nendang. Akhirnya saya baca novel pertamanya, Rencana Besar. Nah ini baru sesuai ekspektasi saya. Plot twistnya saya suka. Temanya juga gak umum, corporate-thriller gitu kalau bisa saya sebut. Selain itu ada intrik politik dengan serikat buruh. Keren.

Saya masih penasaran dengan novel-novel Indonesia lain. Ternyata ada yang temanya thriller, tapi berbau IT. Read More

Plugin WordPress Jahanam

Lama saya baru sadar kalau tulisan-tulisan lama di blog ini tidak lagi bisa diakses. Baru sadar setelah iseng-iseng baca tulisan-tulisan lama saya sendiri. Secara naluri otomatis saya menyalahkan plugin-plugin baru yang saya pasang. Termasuk menyalahkan update WordPress terbaru.

Utak-atik sana-sini, lama baru ketemu apa penyebabnya.

Ternyata karena plugin Facebook OpenGraph, Twitter Card, dkk. 😐

Harga Gadget Tiada Batas

10 tahun lalu, kalau denger ada henpon seharga sepeda motor, orang-orang pasti komentar “Gila..!”. Orang-orang kelebihan duit aja tuh yang bakal beli segitu.

Sekarang, harga ponsel bahkan ada yang lebih mahal daripada harga sepeda motor baru. Tapi orang-orang biasa aja.

Iya, dulu sih memang ada juga ponsel harga selangit. Tapi itu karena casing-nya berlapis emas. Atau ada juga karena yang diberi hiasan berlian. Lah kalau jaman sekarang, emang ponselnya yang segitu. Harganya hampir 20 juta.

Coba aja cek harga resmi iPhone 7 dan iPhone 7 plus di Indonesia, rentang harganya di belasan juta. Tapi walaupun semahal itu, nyatanya pre-ordernya laris loh. Siapa bilang di “rezim” sekarang ekonomi Indonesia menurun? Tuh, buktinya. Mantaplah pokoknya Indonesia. Haha.

Dokter 5-Menitan

[Ilustrasi: pixabay.com]

Saya jarang-jarang ke rumah sakit. Rata-rata setahun cuma 2 atau 3 kali. Tapi selama beberapa tahun ini, saya menyadari pola yang sama setiap datang ke rumah sakit. Ini rumah sakit-rumah sakit top di Jakarta.

  1. Sampe rumah sakit, registrasi di bagian pendaftaran. Biasanya ada antrian. Sampai selesai sekitar 10 menit.
  2. Dateng ke ruang poliklinik si dokter. Baik itu dokter umum, maupun dokter spesialis. Biasanya lapor dulu ke suster di poli tersebut lalu diukur berat badan dan tekanan darah. Nah di sini bisa nunggu sampa 30 menit lebih. Saya pernah sampai 1 jam lebih.
  3. Ketemu dokter, ditanya apa keluhannya. Tapi ketika saya jawab, dia sibuk nulis-nulis, atau kalau rumah sakitnya udah modern, dokternya sibuk ngetik-ngetik sendiri di komputer, sambil jawab pendek “Ooh.. Hmm.. Gitu ya..” Terus lanjut disuruh baring, atau “coba duduk, matanya lihat atas”, atau “coba buka mulutnya”. Dipegang bentar, atau disenter bentar, terus sudah. Kurang lebih cuma 5 menitan.
  4. Dokter balik ke mejanya. Sibuk lagi nulis, atau ketik-ketik di komputer. Bisa 5 menitan. Ujungnya bilang “Jadi, saya resepin ini ya.. bla..bla..bla. Diminum aja seminggu dulu, terus nanti kontrol lagi ke sini.” Sudah.
  5. Keluar ruangan, laporan ke suster. Disuruh ke kasir. Sampai kasir kadang nunggu lagi, kadang enggak. Tergantung rumah sakitnya, pengaturan kasirnya bagus atau enggak. Ada lho rumah sakit yang untuk bayar di kasirnya saya harus nunggu 30 menit lebih. Sebabnya? Karena hanya ada 1 orang kasir untuk SEMUA pasien di rumah sakit itu.
  6. Selesai bayar di kasir, ke bagian farmasi/apotek. Ada yang sudah pake sistem komputer, nomor antrian ada di layar, ada juga yang dipanggil manual satu-satu. Nah kalau obatnya racikan, siap-siaplah bawa power bank buat mainan henpon. Biasanya lama banget baru jadi obatnya. Bisa 1 jam, bahkan saya gak jarang sampe 2 jam.

Read More

Dalam Blogging, Kuantitas Lebih Penting daripada Kualitas

Saya lupa kalimat di atas ditulis oleh blogger siapa. Yang jelas saya baca di blog salah satu seleb blog Indonesia circa 2007-an. Pernyataan ini bisa jadi kontroversial, karena “blogger sejati” biasanya mengklaim isi konten itulah yang paling penting, itu menunjukkan kualitas (atau jatidiri) penulisnya. Jumlah trafik itu gak penting.

Menurut saya bisa iya bisa enggak. Dewasa ini makin banyak yang “ngeblog” memang tujuannya cari duit. Kalau istilah teman saya dulu MfA (Made for Ads).

Kalau blog tujuannya sudah seperti ini, tentunya jumlah trafik kunjungan website sangat pengaruh (ini otomatis mempengaruhi ranking Alexa). Selain itu sejak PageRank tidak lagi diperbaharui, sekarang acuannya Domain Authority dan Page Authority (DA/PA).

Percaya gak percaya, untuk menaikkan trafik, kuantitas memang ngaruh banget sama trafik. Kualitas sih gak gitu-gitu amat. Contohnya blog saya ini. Begitu saya rajin ngeblog (nulis random aja) tiap hari, trafik (plus ranking Alexa) nya naik. Tapi kalau ditinggal lama (seperti saya lakukan beberapa bulan terakhir), ranking Alexanya turun. Walaupun kadang ada masa-masa tiba-tiba trafik naik signifikan beberapa hari. Biasanya karena beberapa konten lama saya mendadak banyak yang cari di Google.

Jadi, rajin-rajinlah menulis, tentang apapun. (Kalau gak gitu peduli dengan personal branding sih ya, kalau peduli sih tulisannya harus agak di-“setting-setting” sedikit). 😀