Susahnya Web 2.0 di Indonesia

Adakah web 2.0 buatan anak negri ini yang sukses mendulang Rupiah?

Cobalah tengok kisah Fupei.com yang begitu sulitnya berjuang untuk bisa berhasil seperti MySpace, Friendster atau Facebook di Amerika sana.

Bandingkan dengan Detikcom, Bisnis.com, Kompas.com, PortalHR.com dll yang bisa sukses mendulang Rupiah di jagad maya. Ya mungkin karena memang mereka punya kekuatan yang luar biasa : trafik yang sangat tinggi, atau target audience yang jelas (dan berkelas). Sepertinya situs model portal seperti inilah yang lebih menghasilkan, kalau istilah saya, ini bisnis online yang model korporat.

Saya jadi ingat salah satu omongan dosen saya : Indonesia ini kadang – kadang terlalu cepat mengadaptasi suatu perkembangan di luar negri. Padahal seringkali Indonesia ini belum membutuhkannya, atau belum siap terhadap apa yang mau diadaptasi.

Dia mencontohkan Nokia Communicator yang banyak dimiliki oleh anak – anak muda, yang bahkanΒ cara mensetting GPRS di perangkat mobile nya pun tidak tahu. Rame – rame beli HP dengan fasilitas Video Call, padahal tiap isi pulsa cuma 25ribu.

Lalu begitu semangatnya orang – orang datang ke pameran komputer, untuk membeli komputer dengan spesifikasi setara untuk komputer designer animasi 3D di luar negri sana. Padahal komputer itu hanya digunakan untuk mengcopy & edit – edit dikit membuat laporan kuliah, menonton film bajakan, mendengarkan mp3 yang juga bajakan, dan sisanya main game pastinya juga bajakan.

Apakah ini juga yang terjadi dengan web 2.0 di Indonesia? Apakah memang belum saatnya web 2.0 di Indonesia berkembang (dan mendulang Rupiah)? Tak heran kalau banyak web developer lebih tertarik dengan program Affiliate Marketing, Pay per Post, Google AdSense, jual beli link, dsb.. Karena usaha dan modal yang dikeluarkan tidak sebesar jika kita membangun layanan web 2.0 sendiri, tetapi hasilnya sama, atau bahkan lebih besar.

Saya cukup miris membaca betapa rendahnya tawaran investor lokal atas website yang dikembangkan oleh Sanny Gaddafi (Sagad) (27), Melinda Yumin (23), dan Bahder Johan ini.

Entahlah, saya tidak mengerti dunia perbisnisan korporat, saya cuma punya pengalaman 14 tahun mengurusi pembeli di toko keluarga kami. Jadi tidak sebanding ilmunya. Apakah memang begitu kecil nilai bisnis yang ada pada dunia web 2.0 Indonesia? Ataukah ini hanya kasuistik (pada Fupei) saja?

37 Comments

Add yours

  1. ah nama yang satu itu… bikin malas aja. kapan hari nyepam di blog saya… πŸ˜›

  2. Kok kaya pake Dolphin si Fupee, terus Toolbar nya pake custom toolbar Conduit ahaa kaya punya ku. hehehehhe.

  3. “Indonesia ini kadang – kadang terlalu cepat mengadaptasi suatu perkembangan di luar negri. Padahal seringkali Indonesia ini belum membutuhkannya, atau belum siap terhadap apa yang mau diadaptasi.”

    gak heran bangsa ini bisa dikatakan bangsa yang boros…

  4. Kaya Frienster, tapi walaupun konsepnya (tampilan) nyontek orang lain, saya hargai deh pikiran majunya!
    Kapan om Okto buat kaya gituan?

  5. Masalahnya, situs web 2.0 di Indonesia gak ada yang punya ide orisinil …
    Misal Fupei vs Friendster.. jelas2 orang lebih milih friendster lah apalagi sudah ada bahasa Indonesia-nya. Kenapa ? 1. Faktor jumlah user 2. Faktor Branding…

    Kalau web 2.0 mau laku di Indonesia come up dengan ide orisinil dan business model yang beda πŸ˜€

  6. Horas Lae Silaban…

    Tertarik saya menanggapi sedikit tentang tulisan Lae ini.

    Satu yang sangat kurang dari situs-situs web 2.0 di Indonesia ini, dan secara umum kurang pada perusahaan teknologi di kita, adalah investasi yang memadai. Masih banyak yang menganggap, termasuk pelakunya sendiri, modal berkutet di depan komputer saja cukup untuk bikin portal bagus. Portal retail malah lebih mahal dari korporat – karena harus branding, promosi, dsb yang gencar. Saya sarankan kepada rekan-rekan yang mau bermain di industri ini, pelajarilah cara untuk bisa mendapatkan venture capital. Ini pasti tidak datang dari negara kita ini – karena konsep venture capital / modal ventura – belum dikenal di sini (jangan percaya cerita orang…)

    Saya sendiri terlibat dari awal sampai sekarang di indo.com, dan di awal-awal astaga.com. So, kalau ada yang mau bertanya-tanya, silakan saja…

    Lae Silaban, tolong dilihat juga ide-ide kita untuk berweb2.0 – khususnya di bidang travel – di situs peta kita ini:
    http://www.balihotelmap.com
    http://www.singaporehotelmap.com
    http://www.lokasijakarta.com

    dan satu lagi, katanya mau jadi prensternya orang batak: http://www.allbatak.com

    –Eka Ginting
    http://www.indo.com

  7. Setahu saya, kumpulblogger.com nya kukuhtw sudah bisa menghasilkan rupiah yang lumayan tiap bulan nya.

  8. Hm… saya ga tau isi dapurnya Fupei dan komentar ini bukan bermaksud merendahkan or bagaimana.

    But ketika dulu zaman friendster masih jaya-jayanya, fitur yg ada di Fupei membuat situs ini hanya menjadi situs me-too. Ketika kemudian muncul myspace (dan terakhir facebook), situs ini pun masih seperti social networking yang me-too. Bahkan ketika tambah banyaknya social networking yang membidik niche market, Fupei masih “berasa” seperti social networking yang me-too (ikut-ikutan, tanpa fitur yg “beda”).

    Maaf sekali lagi, bukan bermaksud menghina/merendahkan/konotasi negatif lainnya. Tapi dengan kondisi seperti sekarang ini, jelas akan sulit sekali bagi Fupei untuk mendulang rupiah (ataupun menarik investasi dari pihak luar).

    Kalau mau seperti MySpace atau Facebook, tentunya Fupei harus mengeluarkan inovasi-inovasi mereka sendiri (seperti MySpace: dulu membidik komunitas band sehingga user bisa mengupload musik/video/etc, atau Facebook: FacebookApp!).

    Oh iya, quote dulu: “Indonesia ini kadang – kadang terlalu cepat mengadaptasi suatu perkembangan di luar negri. Padahal seringkali Indonesia ini belum membutuhkannya, atau belum siap terhadap apa yang mau diadaptasi.”

    Memangnya kenapa kalau begitu? Dulu GUI pada komputer tidak dibutuhkan karena nyaris segala-galanya bisa dilakukan lewat command prompt, tetapi toh Xerox membuat komputer yg memiliki GUI dan ternyata meledak. Kalau nunggu siap, ga bakalan maju lah kita. Justru dengan penerapan teknologi baru, bangsa ini dipaksa untuk siap. Ambil saja contohnya internet, sebetulnya dari segi infrastruktur bangsa ini belum siap. Internet mahal sekali bila dibandingkan secara proporsional terhadap negara lain. Belum lagi masalah bandwidth yg cuma seuprit atau latency yg luamaaa bener. Tapi toh kita tetap mengadaptasinya dan “dipaksa” untuk siap.

  9. #7: Susah sekali bila sebuah situs harus bertumpu pada kumpulblogger.com. Fasilitas Adsense ala Indonesia tersebut belum memiliki jumlah pengiklan yang cukup banyak. Dan kalaupun pengiklannya ada, PASTI isinya tentang “cara mudah jadi kaya”.

    Selama kumpulblogger.com tidak memperluas inventory iklan mereka, tampaknya situs tersebut juga hanya akan menjadi proyek sampingan dari pemiliknya (maksud saya memperluas: menawarkan inventory mereka ke pengiklan-pengiklan besar, the ones who are willing to pay serious money).

  10. Kalau cuma bikin Web 2.0 sih mudah. Sudah banyak white label Web 2.0 yang tersedia di Internet dan tinggal kita gunakan (ada yang bayar, ada pula yang gratisan).

    Masalahnya, kebanyakan pemain kita masuk ke sini tanpa konsep bisnis yang jelas — sehingga tidak jelas juga masa depannya. Ndak heran jika susah mendapatkan investor.

  11. Menurut pendapat saya, memang berat web 2.0 di Indonesia, seharusnya ga perlu ikut-ikutan ya. Bikin saja yang memang belum pernah ada. Bukan versi terjemahan dari yang ada diluar sana. kira-kira begitu sih, blum pernah bikin juga soalnya πŸ˜€

  12. saya sedang membuat website dimana user bisa upload foto , dan ada template brand suatu product, jadi setelah fotonya di-upload, foto user akan berdampingan dengan brand product, kesannya adalah user menjadi model iklan product tersebut. tadinya mau bikin cover magazines, tapi berhubung sudah ada layanan seperti itu, jadinya cover majalah diganti menjadi product brand.

  13. #12 Wah, kalo produknya Susu kaleng, ntar disamakan ama sapi dong :))

  14. #13. Produknya MeOnCover.com

  15. #13 Lah kan dah banyak yg buat gituan, yang dibutuhkan cuman PHP + GD Watermark…?

  16. menarik mengamati web 2.0 di indonesia, memang kebanyakan masih me-too, saya rasa tidak salah dengan hal itu, asal perlu terus diikuti dengan inovasi!
    menurut saya fupei perlu mempertegas value proposition, kalau kata marketingnya differentiation. Apa yang situs pertemanan lain blum punya…
    Namun sebagai sebuah situs pertemanan, dengan anggotanya yang 75.000 (menurut pengakuan sanny–pendirinya, per Juni 2008) seharusnya situs ini bisa lebih memberdayakan anggota komunitasnya. Maju terus IT Indonesia!

  17. #15 udah ada ya ? iya deh.. besok saya tutup aja …, stop develop/coding ..mendingan blogging aja ngomentarin aktivitas orang lain, lebih enak sepertinya…

  18. Kira-kira ada kesamaan/kemiripan konsep ndak antara MeOnCover.com dengan http://www.semuabisabicara.com ?

  19. Mungkin bagi mereka spam adalah bagian dari marketing πŸ˜›

  20. Gak sanggup Van.., saya ini cuma blogger yg sok2an cuap – cuap tentang web.. πŸ™

  21. Yap, saya setuju dengan anda..

    Itulah susahnya, ketika ada ide yang orisinil kadang terbentur dengan model bisnisnya. Apakah bisa menghasilkan uang?

  22. Bukannya sudah ada VC di Indonesia lae? (kalo gak salah namanya jadi Modal Ventura kalau di Indonesia).

    Saran untuk AllBatak.com, sepertinya di situs itu fokusnya masih kurang kerasa. Belum kelihatan fitur yang menonjolkan kebatakannya. Seperti apa contoh yg bagus? Saya juga tidak tahu Lae.. πŸ˜€

  23. Ya.. KumpulBlogger memang jadi start yang bagus untuk di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Google AdSense, AdBrite, dll tentu masih sangat jauh. Tetapi jika tidak ada yang memulai, tidak akan ada AdSense lokal Indonesia.

    Besar harapan saya KumpulBlogger bisa terus berkembang dan menjadi besar.

  24. Iya Pak, saya rasa itu juga yang jadi kegelisahan banyak web developer. Ketika dia menemukan suatu ide, dikalkulasi sederhana, ternyata butuh biaya lumayan. Terpikir untuk mengundang investor, tapi si developer ini sendiri tidak yakin dengan potensi bisnis web yang akan dia buat.
    Akhirnya si developer ini membuat web nya sendiri, seadanya, dan cenderung cuma iseng – iseng berhadiah. Dan bisa ditebak ujungnya.

    Kalau di luar negri “sepertinya” mereka pun awalnya mengembangkan sendiri, tetapi dengan kekuatan teknis yang jauh lebih besar dan dana yang jauh lebih murah (biaya teknologi disana lebih murah). Ketika akhirnya terbukti laris, baru model bisnisnya dipikirkan belakangan..

    Ketika membangun web di awalnya mereka “sepertinya” tidak punya detail model bisnisnya, tetapi setelah laris, banyak VC berdatangan dan model bisnisnya dibicarakan bersama – sama.

    Contoh saja, dari hasil googling sana sini, tampaknya model bisnis Twitter.com saja masih misterius.. Tapi dia sudah mendapatkan investor, karena terbukti laris.

    Nah di Indonesia, untuk bisa membuktikan diri bahwa suatu web itu laris saja butuh biaya dan kemampuan yang tidak sedikit.

    Kira – kira dimana Pak titik temunya antara model pengembangan web di luar negri dan Indonesia?

    Sepertinya lebih asyik kalau saya angkat jadi postingan tersendiri nih Pak.

  25. Setahu saya komunitasnya hidup kok. Di beberapa kota mereka sering mengadakan kopi darat.. Masalahnya di model bisnisnya mungkin yang kurang jelas.

  26. Sabar.. sabar..

    *nyindir nih… πŸ˜›

  27. Inti keduanya, user meng-create apa yang dia inginkan.. (filosofi Web 2.0) bukan?

    Tapi dari sisi bisnis, SemuaBisaBicara jelas lebih unggul.

  28. Sesulit itu kah?

  29. kalau di MeonCover.com , kita bisa edit text headlines sendiri

  30. Kalau menjual ke investor, yang didengar bukan apa itu ajax, api, web 2.0, rss, dsb. tetapi berapa investasinya, berapa lama akan BEP, dan berapa profit yang akan didapatkan dari sana?

    Kalau si developer saja tidak yakin, lalu bagaimana mungkin si investor akan mengucurkan dananya?

    Kalau mengenai monetize, sama seperti diatas… si developer saja tidak tahu / yakin bagaimana monetizenya…

    Menjual ke investor itu tidak mudah dan cenderung susah, tetapi bisa, selama semuanya jelas. (investement, BEP, Profit + plan/strategy dan tetek bengeknya) dan kebetulan saya baru saja meng-closed deal tersebut untuk client local.

    “Andy OrangeMood is Online Advertising & Business Consultant”

  31. Maksud saya dengan terlalu cepat mengadaptasi ilustrasinya seperti ini :

    Penduduk di pedalaman Jambi sana, yang notabene baru saja mengerti baca tulis, kemudian diberikan akses internet 1 MBps melalui jaringan satelit, dan prosesor computer QuadCore..
    Tidakkah itu artinya “terlalu cepat mengadaptasi”?

    Kita ini negara agraris, lahannya subur.. Tapi beras seringkali langka, dan kalaupun tersedia harganya bisa sangat mahal.. Mengapa? Karena anak2 petani padi itu tidak ada yang belajar pertanian.., mereka lebih senang belajar IT, Computer Graphic Design, dkk. Padahal yg dibutuhkan adalah para ahli pertanian..

  32. Selalu seperti itukah? Soalnya Founder dari YCombinator (VC yg mendanai banyak web sukses) justru tidak pernah menyinggung BEP, profit, dll.. Begitu juga David dari 37Signals (Pembuat RubyOnRails). Hukum mereka cuma satu :

    “Buat apa yang dibutuhkan orang. Pikirkan tentang model bisnis belakangan..”

    stereotip yang masih belum diadaptasi para investor di Indonesia.

  33. “Susahnya Web 2.0 di Indonesia” bicara local kan? ya mayoritas begitu… πŸ™‚

    β€œBuat apa yang dibutuhkan orang. Pikirkan tentang model bisnis belakangan…” arti kata butuh disana itu dalam sekali lho mas, karena orang butuh, kita bisa menjual kan…

    contoh di topik ini fupei, apa yang orang butuhkan dari fupei?… got it?!… πŸ™‚

  34. Fupei memang bukan contoh yang bisa memberikan apa yang diberikan orang. Saya setuju dengan argumen anda πŸ™‚

    Saya cuma mau menambahkan, bahwa ROI, BEP, IRR, dll itu di luar negri sana tidaklah menjadi hal yang harus ada ketika sebuah web dikembangkan. Urusan “bisnis” itu baru bisa dibicarakan ketika terbukti produknya bagus. Jadi developer tidak diberatkan (*walaupun penting) dengan urusan model bisnis pada tahap awal.

  35. quote: “Saya cukup miris membaca betapa rendahnya tawaran investor lokal atas website yang dikembangkan oleh Sanny Gaddafi (Sagad) (27), Melinda Yumin (23), dan Bahder Johan ini.”

    bukan salah developernya mas, mungkin mereka menawarkan pada perusahaan / orang yg salah…

  36. dulu waktu program2 affiliate markrting seperti google adsense belum begitu marak seperti sekarang ini, kebanyakan topik di internet seputar virus dan hacker…begitu ada google adsense dan sebagainya2, mungkin para ahli internet indonesia pada beralih dari jail (bikin virus, hack blog orang, dsb2) menjadi publisher (yang tentu saja menghasilkan)….karena sudah merasakan penghasilan dari affiliate marketing, mereka jadi pada fokus pada affiliate marketing. jadi mungkin mereka gak berfikir untuk membuat web 2.0 (yang mungkin lebih menghasilkan dalam jangka panjang) sebab sudah ke enakan main adsense/affiliate program yang lain. teman saya aja dengan ngeblog sendiri bisa menghasilkan 130 juta sebulan dari adsense. dan biasanya hasil dari adsense itu di investasikan pada barang2 offline (misalnya tanah, lahan sawit, restoran, kos-kosan,dll). karena mungkin mereka sadar bahwa program2 afiliasi itu gak bertahan selamanya, makanya mereka cari yang aman. kalau uang mereka di investasikan untuk membangun web 2.0 seperti facebook dsb, mereka mungkin kawatir kalau program2 seperti itu blm tentu berhasil (kalau tanah kan jelas ada barangnya, )……jadi itu yang menurut saya membuat web 2.0 seperti facebook dll yang buatan indonesia belum bisa berkembang seperti di luar negeri…

    ;

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *