sportdio
Seorang teman bercerita, di samping kerjaannya sebagai analyst IT, dia bersama 3 orang temannya meluncurkan toko sepatu online, Sportdio.com namanya. Kata “sport” di Sportdio sendiri digunakan sejak awal karena memang rencananya jika sudah cukup besar, mereka bisa ekspansi tidak hanya menjual sepatu, namun tetap di sekitar produk olahraga.

E-commerce bukanlah suatu hal yang baru, termasuk di Indonesia. Banyak yang sudah meluncurkan toko online. Mulai dari skala perorangan, paruh waktu, sampai dengan yang didukung oleh grup bisnis besar yang “dananya tak terbatas”. Mulai dari skala iseng-iseng, penjual serius sampai dengan distributor besar atau importir mungkin. Sportdio.com sendiri masuk kategori penjual serius, tetapi untuk saat ini belum masuk ke grup bisnis besar.

Para pendiri Sportdio adalah 4 orang anak muda, teman lama sejak jaman SMA. 2 dari antara mereka saat ini masih bekerja fulltime di perusahaan. 2 lagi sudah fulltime mengurusi Sportdio. Kenapa 2 orang tadi tidak resign dan fulltime juga di Sportdio? Apa mereka nggak serius? Nah, justru karena serius maka 2 orang masih tetap kerja sebagai karyawan. Dari perhitungan mereka, sebagai pemain baru, akan banyak dana yang diperlukan untuk belanja modal, operasional dan marketing. Dengan tetap bekerjanya sebagian dari tim mereka, maka paling tidak dalam kondisi tanpa penjualan pun, mereka masih tetap bisa beroperasi normal.

Secara bisnis, Sportdio.com sudah mencatatkan sejumlah transaksi tiap bulannya. Saya tidak tahu angkanya, yang jelas belum sebesar Zalora, Blibli, dan e-commerce kaliber raksasa lainnya itu.

Dengan konsep mereka yang fokus ke sepatu, tentu mengingatkan kita pada Zappos.com yang awalnya juga adalah toko sepatu online. Dan memang salah satu dari tim Sportdio juga pernah membaca bukunya Tony Hsieh (CEO Zappos). Bisa jadi mungkin inspirasinya memang dari Zappos.

Namun, jika merujuk pada Zappos, dari berbagai wawancara dengan Tony Hsieh maupun Nick Swinmurn (founder Zappos), kita ketahui kalau mereka pun sempat mengalami masa-masa di mana mereka hampir bangkrut. Tidak sekali dua kali. Tony Hsieh harus menjual apartemen-apartemennya satu demi satu demi menutup aliran kas Zappos. Bahkan 6 tahun sejak didirikan, Zappos belum mencapai BEP (Break Even Point). Nah, bukan tidak mungkin, Sportdio.com pun harus mengalami masa-masa ini. Karena seperti bisnis retail lainnya, biasanya pekerjaan berat di awal itu adalah marketing, yang dalam bentuk apapun tetap tidak sedikit biayanya.

Melihat keseriusan teman saya ini, apalagi salah satu dari timnya sebelumnya bekerja di salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia, saya rasa potensi mereka untuk bisa “mencuri” kue e-commerce di Indonesia cukup besar. Bukan tidak mungkin mereka akan jadi Zappos-nya Indonesia. Tinggal masalah berapa lama mereka kuat untuk “bakar duit” sebelum mencapai titik BEP, dan tentunya “duit siapa” yang mau dibakar? 😉