Year: 2015

Mengurus Perpanjangan SIM Online di Gerai Samsat Mall Gandaria City

Ini bulan Oktober, sudah jelas hari lahir saya di bulan ini. Cuma yang saya kurang jelas, atau lebih tepatnya lupa, bertepatan dengan ulang tahun, masa berlaku SIM saya pun habis. Sudah lewat beberapa hari. Saya panik, karena dulu-dulu saya harus balik ke kampung halaman cuma demi perpanjang SIM saja (SIM saya bukan terbitan Jakarta). Selain menghabiskan waktu, biaya apa lagi. Apalagi ini udah keburu habis masa berlakunya.

Lalu saya teringat bulan lalu ramai berita perpanjang SIM sekarang bisa online. Jadi walaupun SIM saya misal dari Medan, saya bisa perpanjang di Jakarta. Selain itu, katanya SIM yang sudah habis masa berlakunya, masih bisa diperpanjang sampai 3 bulan ke depan. Saya googling, kata berita sih begitu. Cuma biasanya kan berita dengan praktik di lapangan bisa beda jauh. Apalagi urusan sama aparat.

Gerai Samsat/SIM Mall Gandaria City

Jadi berangkatlah saya pagi tadi ke Gerai Samsat yang terletak di dalam Mall Gandaria City. Baca di blog ini, katanya harus persiapan bawa fotokopi KTP dan SIM. Saya nyari-nyari tempat fotokopi di luar Mall Gandaria City (Gancit), ternyata gak nemu. Kata satpam ada di Paperclip dan Bis Express (tauk dah ini bener gak nulisnya). Dan ternyata kedua tempat itu masih tutup. Saya datang pukul 9.30 sih. Read More

CEO Meetdoctor.com Mengundurkan Diri

Di tengah munculnya Konsula –startup baru yang bisa jadi pesaing MeetDoctor, justru terdengar kabar mengejutkan dari MeetDoctor. CEO nya, Adhiatma Gunawan, mengundurkan diri, per 1 Oktober 2015 ini.

Adhiatma (yang juga seorang dokter) mengatakan alasannya keluar adalah karena MeetDoctor sudah tumbuh semakin besar dan kuat dan menjadi pemain penting di pasar. Menurut Adhiatma, ini adalah saatnya bagi penerusnya kelak, untuk membawa MeetDoctor ke pencapaian yang lebih tinggi.

Ya.., kalau menurut saya pribadi sih mungkin ada alasan lain. Kan sayang keluar dari startup yang sudah semakin besar. Tapi, entahlah ya. Siapa tahu kapan-kapan saya bikin tulisan lain yang menuliskan gebrakan Adhiatma berikutnya di dunia digital. 😀 Saya yakin perjalanan Adhiatma berikutnya pasti gak jauh-jauh dari membangun bisnis digital baru. Mari kita lihat nanti.

Tentang MeetDoctor.com

MeetDoctor.com adalah layanan konsultasi kesehatan gratis dengan dokter. Di sini pengguna layanan bisa berkonsultasi soal kesehatan secara umum dan akan dijawab langsung oleh dokter.

Saya pernah coba beberapa kali. Pertama kali mengirimkan pertanyaan, cukup memuaskan, tidak sampai 5 menit sudah mendapatkan respon. Tetapi tidak demikian untuk pertanyaan susulan. Ada yang dijawab beberapa hari kemudian, ada yang tidak pernah dijawab lagi.

Meetdoctor sendiri sudah mendapatkan investasi sekitar Rp 3,2 Miliar dari SMS CO.,LTD pada April 2013. Saat itu SMS berinvestasi bersama Corfina Capital (perusahaan investasi lokal). Dari hasil investasi ini, SMS memiliki 50% saham.

SMS (Senior Marketing System) adalah sebuah perusahaan dari Jepang yang bergerang di bidang manajemen dan teknologi di dunia healthcare dan nursing care.

Di July 2013, Meetdoctor sudah menjadi PT sendiri, dan kepemilikan SMS berubah menjadi 60.8%.

Lapak DVD Bajakan

Ini poster yang terpasang di lantai dasar, mall Ratu Plaza, daerah Senayan. Padahal rata-rata orang juga tahu di lantai atas bertebaran lapak DVD bajakan.

Gak cuma di Ratu Plaza saja sih. Di Ambassador, Poins Square Lebak Bulus, ITC Permata Hijau, dll juga banyak kok yang terang-terangan buka lapak DVD bajakan. Ini artinya, pengelola gedung jelas-jelas tahu dan mengijinkan penggunaan gedungnya untuk jual beli ilegal.

Kalau terang-terangan begitu, kenapa gak ditindak? Nah, saya juga heran. Mungkin potongan tulisan dari neraca.co.id ini bisa sedikit memberikan petunjuk:

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Bigjen Pol Bambang Waskito mengatakan selama ini laporan tentang pembajakan ini hanya berupa surat dan tidak dilengkapi dengan alat bukti.”Kalau permasalahan yang tau Satgas ini, namun selama ini sering kali laporan yang masuk tidak memiliki alat bukti sehingga kami susah untuk mengusut pembajakan itu,” kata dia.

Saya gak ngerti hukum sih. Mungkin toko yang jelas-jelas menjual DVD bajakan di dalam mall itu dalam hukum gak bisa dijadikan bukti. Mungkin.. -_-

Nah, baru-baru ini pemerintah sudah membentuk Badan Ekonomi Kreatif, dikepalai oleh Triawan Munaf (ayahnya Sherina Munaf). Badan ini akhirnya membentuk Satuan Tugas Penanganan Pengaduan Pembajakan Karya Musik dan Film (Satuan Tugas Anti Pembajakan). Mari kita lihat, paling enggak, tahun 2016 nanti apakah mencari DVD bajakan makin susah, atau masih sama mudahnya?

Kuota Internet dan Program Sarjana

[Ilustrasi: Quinn Dombrowski – flickr.com/quinnanya]

Anto (nama samaran) sekarang kebetulan menggunakan ponsel yang bisa menggunakan 2 sim card. Seorang teman Anto, sebut saja namanya Luba Noto Gejayan, biasa disingkat Luba N.G, memiliki ponsel yang sama. Menurut Luba, sim card utama (untuk telpon dan SMS) mending dipisah saja dengan sim card khusus internetan. Jadinya bakal lebih murah katanya.

Tergiur cerita Luba, Anto mencoba mencari sim card prabayar lain khusus untuk paket internet. Mulailah Anto mencari informasinya di internet.

Selama ini Anto menggunakan kartu Halo Telkomsel (pascabayar). Informasi biaya paket internetannya cukup mudah dipahami. Bayar sekian, kuotanya maksimal sekian sebulan. Selesai. Tetapi tidak seperti itu di kartu prabayar. Anto baru tahu, ternyata untuk paket internet kartu prabayar, skemanya sangat rumit. Dan ini berlaku rata di semua operator (Telkomsel, XL, Indosat, Tri).

Begini contoh ilustrasinya:

  • Ada yang terlihat harganya lumayan, kuota (misal) 4,5 GB. Tapi ternyata 3GB nya untuk akses via ponsel, 1,5GB nya untuk akses via WiFi si operator, 2GB kuota hanya berlaku di jaringan 4G, sisanya di jaringan 3G/3.5G.
  • Ada yang harganya berbeda-beda di tiap lokasi. Dan sewaktu Anto membuka websitenya, lokasi Jakarta Selatan tidak ditemukan. Identifikasi menggunakan Geolocation di browser pun tidak berjalan, jadi Anto sama sekali tidak bisa cek harganya.
  • Ada yang berbeda berdasarkan waktu penggunaan. Kuota terlihat besar, tetapi ada pembagian waktu. Misal, total kuota 10GB. Jam 9-12 siang 2GB, jam 12 siang sampai jam 6 sore 1 GB, jam 6 sore sampai jam 12 malam 500 MB, sisanya jam 12 malam sampai jam 9 pagi, 6.5GB.
  • Dan ini yang paling pamungkas, ada yang gabungan dari 3 skema di atas. Luar biasa !

Skema ini makin diperumit dengan pilihan paket dengan nama berbeda-beda, dan masing-masing paket, beda-beda skema harga. Informasi ini pun susunan informasinya di website masing-masing bisa dibilang berantakan.

Memang ada saja orang yang dengan senang hati merangkum informasi ini dan menuliskannya di blog atau forum. Tapi ini tidak begitu membantu juga, karena skema paket dan harganya itu cepat sekali berubah. Informasi yang dirangkum di bulan Februari, sangat mungkin di bulan September sudah tidak berlaku.

Begitu Anto mencoba menyampaikan keluhannya ke para operator, jawaban mereka adalah “Ini hal yang bagus, Pak Anto. Justru dengan begitu banyaknya pilihan paket internet ini, pelanggan bisa bebas menentukan mana paket yang paling tepat bagi mereka.”

Anto merasa sedih. Dengan begitu banyaknya pilihan, bagaimana caranya dia bisa memilih mana paket internet yang paling pas untuknya. Akhirnya Anto berkonsultasi kembali dengan Luba.

Tips dari Luba singkat. Kuliah lagi saja. Program Studi S1 Ilmu Internetan, dengan gelar sarjana Sarjana Ilmu Internetan. Luba dulu mengambil kuliah ini. Ikut kelas malam, demi bisa mengerti dan menjadi ahli paket-paket internet dari operator telekomunikasi.

Awalnya Anto tidak percaya, sampai akhirnya Luba menunjukkan ijazah Sarja Ilmu Internet-nya. Ternyata Luba tidak bohong. Ijazahnya benar-benar ada. Nama Luba tertulis di situ, lengkap dengan gelarnya: Luba.NG, S.Ilit.

Portal-Portal Berita di Indonesia

[Ilustrasi: GotCredit – jakerust| flickr.com]

Tulisan ini tadinya adalah bagian dari tulisan tentang ulasan desain baru portal Okezone.com. Saya pikir bagian ini cukup luas untuk dijadikan tulisan tersendiri, jadi saya potong dan pindah ke sini, tentunya dengan beberapa pembaharuan.

Sampai saat ini, klasemen liga portal berita di Indonesia masih diisi oleh tim-tim lama. Memang posisinya berganti-ganti, namun Detikcom tetap nomor satu. Sisanya diisi oleh:

  • Liputan6.com (yang belakangan melesat masuk ke top 3)
  • Kompas.com
  • Tribunnews.com (juga milik Kompas, tapi kualitas beritanya menurut saya masih di bawah Kompas)
  • Merdeka.com (grup KapanLagi, yang baru diakuisi grup MediaCorp dari Singapura)
  • Okezone.com (yang baru ditinggal oleh bosnya, Roy Simangunsong. Ia sekarang menjadi bos Twitter Indonesia)
  • Viva.co.id
  • Suara.com (nah ini tergolong pendatang baru)
  • Tempo.co
  • KapanLagi.com (mm.., ini bukan portal berita sih, portal infotainment kali ya lebih tepatnya).

Saya rasa beberapa menarik untuk diulas lebih dalam:

Suara.com

Suara.com ini luar bisa. Dulu, dalam hitungan bulan, dia sudah berhasil melesat masuk dalam 40 situs paling top di Indonesia. Kemudian saya sempat lihat kayaknya mereka pernah masuk top 10 atau top 20 juga sih. Tapi hari ini saya lihat sudah keluar dari top 20. Mungkin dugaan saya dulu benar, trafik mereka kebanyakan disumbang dari digital-ads. Jadi ketika ad-placement nya sudah berkurang, ya trafiknya menurun juga. Dulu Vivanews gosipnya pernah melakukan strategi ini juga. Dalam seminggu posisinya di Alexa bisa melesat jauh. Gosip sih.

Merdeka.com / KapanLagi Networks

Merdeka.com (atau tepatnya KapanLagi Networks-nya), dulu sempat diduga bakal jadi akuisisi dengan nominal yang luar biasa. Pernah hampir diakusisi oleh EMTEK (pemilik KMK -yang menaungi Liputan6.com). Tapi di tengah jalan berbelok, merapat ke MediaCorp. Akhirnya 52% sahamnya dilepas ke MediaCorp (perusahaan asal Singapura). Berbeloknya KapanLagi ke MediaCorp ini tidak lepas dari campur tangan Andi S. Boediman (VC Ideosource, ex-CEO Plasa.com).

Nilai akuisisinya? Dari sumber yang cukup dekat dengan mereka, valuasi untuk 100% saham KapanLagi Network adalah US$ 87 juta. Tapi, MediaCorp akhirnya hanya mengambil saham KapanLagi sebesar 52% saja.

Secara nilai, valuasi 100% saham KapanLagi naik lumayan lah dibanding akusisi Detikcom 100% oleh CT Corps tahun 2010 lalu, yaitu US$ 60 juta. Kalau itungan bodo-bodoan, dengan inflasi 7% setahun, maka “harga” Detikcom kalau diakusisi tahun 2014 jadi sekitar US$ 78jt.

Grup KapanLagi ini sangat agresif. Untuk situs ala-ala BuzzFeed, mereka meluncurkan Feed.ID dan Brilion.net. Menurut saya sih kedua situs ini mirip-mirip jenis kontennya, entah kenapa dibuat 2 jenis. Tapi mungkin kalau dilihat layoutnya, mungkin Feed.ID lebih fokus ke pengguna mobile.

Selain itu, KapanLagi juga meluncurkan Techno.ID, gak tahu persisnya kapan. Ini ala-ala Trenologi.com gitu deh menurut saya.

Kompas.com

Tidak kalah, Kompas.com juga melahirkan situs semacam Trenologi (err, kombinasi Trenologi & DailySocial kali ya), namanya Nextren.com. Tapi walaupun sudah ada Nextren, mereka masih mengelola KompasTekno. Padahal demografi pengunjungnya mirip-mirip menurut saya. Ya, mungkin sekarang masih berasa mirip, nanti baru kelihatan bedanya. Kita lihat saja nanti.

Saya masih penasaran apa yang terjadi dengan Urbanesia.com setelah diakusisi oleh Kompas.com. Di sekitar tahun 2009 saya memang mendengar kabar Kompas.com ingin sekali memiliki situs directory listing. Mereka sudah pernah coba buat. Tapi entah mengapa, setelah memiliki Urbanesia, akhirnya Urbanesianya malah tutup.

Okezone.com

Okezone? Sudah diulas di sini.

Liputan6.com / KMK

KMK (Kreatif Media Karya) -grup yang menaungi Liputan6.com- juga sedang aktif-aktifnya. Selain sibuk mengejar posisi Detikcom, KMK juga melahirkan Vidio.com (semacam YouTube, tapi mereka tidak mau disebut begitu), dan Bintang.com (semacam DetikHot atau KapanLagi). Tentunya selain investasi (akusisi?) Karir.com, Bukalapak.com dan Rumah.com.

Beritagar.ID / MPI – GDP Venture

Oh iya, ada pemain yang masih cukup baru, namanya Beritagar.ID. Ini hasil gabungan Beritagar.com dengan Lintas.me, atau lebih tepatnya MPI (Merah Putih Incubator – pemilik Lintas.me) mengakuisisi Beritagar.com, lalu menggabungkan Lintas.me dengan Beritagar.ID. MPI sendiri berada di bawah bendera GDP (Global Digital Prima) – Grup Djarum. Kaskus dan Blibli.com termasuk portofolio GDP.

Disclaimer: Saya pernah memiliki hubungan kerja dengan MPI.

Beritagar.ID ini menarik. Sepemahaman saya, berbeda dengan portal-portal berita lain yang punya jumlah awak jurnalis yang banyak sebagai andalan pengumpulan informasi, Beritagar.ID justru mengandalkan teknologi untuk pengumpulan beritanya. Ada 2 teknologi. Satu teknologi untuk mencari dan mengolah berita, satu teknologi lagi untuk menampilkan konten yang relevan. Walaupun mengandalkan teknologi, tetapi editor akhir artikel di Beritagar.ID tetap dilakukan oleh manusia.

Yang terbesar ?

Dari segitu banyak pemain media digital, saya rasa penguasa media digital Indonesia paling besar saat ini dipegang KapanLagi Networks. Portofolio grup ini terbentang dari KapanLagi, Merdeka, Fimela, Brilio.net, Otosia, Feed.ID, Vemale, Sooperboy, Dream.co.id, Hemat.com, dll. Saya gak punya angkanya sih. Nebak-nebak doang ini.

Model Bisnis

Walaupun pemain di media digital Indonesia semakin ramai. Tetapi sepertinya model bisnisnya tidak jauh berubah.

Secara umum model bisnisnya masih di seputar ini:

  • Banner ads & contextual ads. Pada dasarnya kaya Google AdSense lah. Saya sih pake AdBlock Plus, jadi hampir gak pernah lagi menemui iklan seperti ini.
  • Advertorial / Sponsored Post
  • Native Advertising. Ini cukup baru, tapi pada dasarnya mirip-mirip advertorial sih. Bedanya kalau advertorial itu hard-selling, kalau native advertising soft selling, jadi bisa “menyatu” menjadi artikel biasa, dan seringkali pengunjung gak sadar kalau itu sebenarnya iklan.
  • Paywall. Maksudnya, buat baca artikel lengkapnya harus bayar. Dulu DetikPortal.com melakukan ini. Tapi sepertinya gak sukses, jadi gak jalan lagi. Orang Indonesia mah buat beli game iPhone aja rela nge-jailbreak (padahal sanggup beli iPhone), jadi boro-boro diminta bayar buat baca berita.

Di US model-model bisnis seperti di atas sudah semakin sulit. Tapi kalau di Indonesia mungkin masih lama sih sampai di tahap itu, jadi fokus nyari trafik aja dulu ya.

End Game

Saya yakin dari sekian banyak pemain grup-grup media digital ini, ada yang fokus “end game”-nya bukan untuk menjaga bisnisnya bertahan selama mungkin. Pasti ada yang fokusnya mengincar exit, baik itu exit diakuisisi, ataupun exit IPO.

Kalau exit diakusisi kan sudah tuh -entah memang dengan alasan sudah jadi tujuan awal atau sekadar adaptasi bisnis. Nah siapa nanti yang jadi bakal exit dengan IPO pertama kali ya?

Linux dan Kesejahteraan Karyawan

Salah satu potongan obrolan saya dengan beberapa teman.

“Dia jadi apply ke tempat lo?”

“Iya. Dia mah yang penting pindah dari kantornya sekarang.”

“Loh, kenapa?”

“Bayangin aja, semua komputer di sana pake Linux. Gak modal banget tuh perusahaan. Urusan kesejahteraan karyawannya pasti pait deh.”

“Apa hubungannya Linux sama kesejahteraan?”

“Ya.. artinya pelit perusahaannya. Dia kan perusahaan consumer goods. Sistem IT itu penting banget lah buat bisnisnya. Kalau untuk yang penting aja dia gak mau keluarin modal, apalagi buat kesejahteraan karyawan cuy. Walaupun gue ngerti Linux, tapi gue mah ogah kerja di perusahaan kaya gitu.”

Dan 3 orang lainnya mengiyakan argumen rekan saya itu.

Dulu saya sering berkutat di seputar komunitas Linux. Tapi saya baru tahu kalau ada persepsi seperti ini untuk perusahaan yang sepenuhnya memilih menggunakan GNU/Linux dan OpenSource ataupun Free Software. Apa ini umum ya di luar komunitas pengguna Linux?

Pengemudi Ojek Berbasis Aplikasi yang Akhirnya Tertular Penyakit Ojek Pangkalan

[Ilustrasi: Justin Poliachik – justinpoliachik | flickr.com]

Beberapa waktu lalu banyak kita dengar cerita pengemudi Gojek yang menjadi korban kekerasan dari ojek pangkalan. Pasalnya sederhana, ojek pangkalan tidak terima Gojek mengambil penumpang di “wilayah mereka”.

Banyak masyarakat yang bersimpati dengan pengemudi Gojek. Menurut sebagian orang kelakukan ojek pangkalan itu tidak pantas. “Cari makan ya harusnya adil aja, tidak perlu mengaku-ngaku sebagai penguasa wilayah tertentu. Suka-suka konsumen mau menggunakan yang mana.” Kira-kira begitu pendapat mereka.

Sampai hari ini beberapa daerah dipasangi spanduk oleh pengemudi ojek pangkalan. Isi spanduknya jelas, melarang Gojek beroperasi di wilayah tersebut. Salah satu yang cukup terkenal di daerah Apartemen Kalibata City, Jakarta. Tidak bisa dipungkiri kalau itu salah satu bentuk intimidasi terhadap ojek berbasis aplikasi.

Nah, dalam tulisan saya sebelum ini, saya mengulas bagaimana dugaan saya mengenai fase perubahan ojek berbasis aplikasi (Gojek dan GrabBike) secara sosial. Ternyata bukan isapan jempol. Salah satu dugaan saya itu sudah terjadi.

Kejadiannya di area seputar salah satu apartemen di daerah Jakarta Barat. Awalnya hanya pengemudi Gojek yang mangkal disitu. Lama kelamaan mulai ramai pengemudi GrabBike. Nah karena promosi GrabBike hanya Rp 5.000 (dibanding Gojek yang 15.000), akhirnya lambat laun penghuni apartemen memilih Grab Bike.

Dulu penghuni apartemen keluar pintu belok kanan (tempat pengemudi Gojek mangkal), belakangan hampir semua belok kiri (tempat pengemudi Grab Bike mangkal). Pengemudi Gojek pun cemburu. Akhirnya salah satu dari mereka ada yang mendatangi pengemudi Grab Bike yang mangkal. Meminta agar mereka tidak lagi mangkal di situ. Ujung-ujungnya ribut, hingga berkelahi. Untung ada satpam, sehingga berhasil dilerai. Kalah jumlah, akhirnya salah satu kelompok pindah mangkal ke area menara apartemen yang lain.

Jadi, kalau dulu pengemudi Gojek diintimidasi oleh ojek pangkalan, ternyata sebagian dari mereka sudah belajar dari situ, gimana cara mengintimidasi pengojek lainnya.

Taksi

Kejadian seperti ini tidak hanya di urusan ojek sih. Di dunia taksi juga sama. Banyak titik-titik yang sudah “dikuasai” kelompok pengemudi taksi tertentu.

Salah satu contohnya, sudah jadi rahasia umum kalau nunggu kita tidak akan berhasil naik taksi Blue Bird di salah satu area dekat gerbang keluar tol Pasteur, Bandung. Pengemudi burung biru ini tidak ada yang berani ambil penumpang di situ. Karena di area itu sudah banyak nangkring taksi lokal. Cerita-cerita dari sopir sih, kadang dipukuli kalau sampai berani ngambil penumpang di daerah situ.

Yang jelas penularan penyakit seperti ini harus dicegah. Apalagi mengingat jumlah pengemudi ojek berbasis aplikasi ini sudah di sekitar angka ratus ribuan. Kalau sempat banyak yang tertular, terlalu sulit untuk mengobatinya.

Amazon Underground yang Aneh

Internet sedang ramai dengan Amazon Underground. Ini proyek baru dari Amazon.com (raksasa e-commerce dan cloud services).

Selama ini kan banyak aplikasi yang berlabel “gratis”, tapi kenyataannya di dalamnya penuh dengan fitur-fitur, virtual item, dsb-nya yang harus dibeli. Istilah kerennya “In-app purchase – IAP”. Di Amazon Underground ini, kita (pengguna Android) bisa mengunduh aplikasi yang benar-benar gratis 100%. Amazon sudah bekerjasama dengan banyak pengembang untuk memungkinkan hal ini terjadi. Singkatnya, sebagai ganti IAP, Amazon membayar ke pengembanga aplikasi untuk waktu yang digunakan pengguna. Jangan khawatir, yang bayar Amazon kok, bukan kita.

Untuk bisa mengunduh aplikasi “Actually Free” ini tidak bisa via Google Playstore. Jadi kita harus download Amazon Underground. Dan itulah yang saya lakukan. Link downloadnya ada di: http://amazon.com/underground.

Setelah selesai instalasi, saya melihat daftar aplikasi gratis di aplikasi Amazon Underground ini. Game “Cut the Rope” ada di situ, berlabel “Actually Free”. Saya klik. Tapi yang keluar malah pesan agar saya memperbaharui Amazon App ke Amazon Underground. Ini aneh, karena tadi yang saya download kan Amazon Underground. Hmm.

Saya coba klik “Update Now”. Tapi makin aneh, yang keluar malah pesan kalau saya tidak dapat memasang aplikasi ini karena batasan geografis yang dilakukan Amazon.


Loh, ada batasan toh? Saya kepingin tahu apa batasannya, jadi saya masuk saya ke link “Why?” itu. Setelah saya baca, makin aneh lagi, ternyata di daftar negara yang boleh menginstal aplikasi ini, ada Indonesia. Lah, kok?

Fase Pengemudi Gojek (dan GrabBike) Berikutnya

[Ilustrasi: Convention In Session, 3Am – Clark Demonstration | pond5.com]

Beberapa hari lalu saya menggunakan jasa Gojek. Pengemudinya bercerita, ada salah satu pengemudi Gojek meninggal saat membelikan pesanan seorang pelanggan. Bukan karena apa-apa, tapi memang karena sakit. Kurang jelas, sakit jantung atau “angin duduk”.

Kabar meninggalnya pengemudi ini menyebar dengan cepat di grup-grup Whatsapp para pengemudi Gojek. Dan akhirnya banyak yang datang melayat. “Kita mah pada gak kenal, Mas. Tapi ya, kita ngerasa sesama sodara aja gitu sesama pengemudi Gojek”, begitu ujar pria yang pernah bekerja sebagai staff di salah satu hotel top di Jakarta ini.

Di lain waktu, saya pernah ngobrol dengan pengemudi Gojek. Cerita soal ojek pangkalan yang menentang keberadaan Gojek, bahkan kadang sampai melakukan kekerasan kepada pengemudi Gojek. Pria muda ini lalu mengatakan, “Kita sih Mas sebenarnya bisa aja balas. Kaya yang di Sawangan itu. Sekarang gini aja, Mas, mereka yang di pangkalan itu cuma berapa orang sih? Lagian mereka kan mangkal di situ terus, kita kalau mau balas serang, gampang nyari mereka. Lagian jelas banyakan kita. Ribuan orang juga bisa kita gerakin. Mereka malah susah kan bales kita. Lah wong kita tersebar kok. Ya, gak Mas?”

Tak lama kemudian saya membaca di media online, ada konvoi ribuan pengemudi Gojek untuk mengantarkan jenazah salah satu pengemudi Gojek yang meninggal karena kecelakaan. Alasannya karena solidaritas sesama pengemudi Gojek.

Dari satu sisi, yang saya lihat belakangan ini baru jadi semacam “unjuk kekuatan” yang tidak disengaja.  Berkumpul bersama, demi solidaritas. Tapi bisa jadi belakangan, setelah sadar mereka punya kekuatan, akhirnya berubah jadi “unjuk kekuatan” beneran. Dan seperti yang dikhawatirkan beberapa pengamat di dunia online, bukan tidak mungkin nantinya ada organisasi yang merangkul mereka, atau justru mereka membuat organisasi sendiri.

Lalu bagaimana dengan GrabBike? Bisa jadi sama. Urusan cari duit di jalanan itu sejak dulu memang keras. Jika sudah semakin besar, mungkin pengemudi GrabBike dan Gojek awalnya bersatu. Mereka “unjuk kekuatan” dulu ke ojek-pangkalan yang nyata-nyata menolak keras keberadaan mereka. Fase berikutnya, di antara mereka sendiri bisa terjadi pergesekan.

Lalu muncul lah elemen berikutnya. Serikat buruh.

Di sini semakin rumit. Karena pengemudi Gojek dan GrabBike bukanlah karyawan dari Gojek ataupun GrabBike. Mereka semua pekerja lepas. Membuat serikat buruh seperti layaknya di perusahaan-perusahaan manufacturing itu mungkin bakal membutuhkan format dan kerangka aturan yang berbeda. (Disclaimer: saya bukan ahli hukum) Bisa jadi akhirnya mereka akan mulai menuntut berbagai hal.

Seperti kumpulan massa dalam format dan alasan apapun, jika tidak hati-hati bisa jadi suatu saat mereka ditunggangi kepentingan tertentu. Mudah-mudahan Gojek (ataupun GrabBike) sudah siap dengan kemungkinan ini.

70 tahun Indonesia Merdeka, Mari Berbahasa Inggris

[Foto: tania_huiny | Flickr.com]

Ini tulisan yang terlambat. Tapi lebih baik daripada tidak lah ya.

70 tahun Indonesia merdeka, seperti biasa komentar orang-orang masih sering “Ah.., apanya merdeka. Masih banyak yang gak beres, hukum kita, aparat kita, kebebasan beragama, pendidikan kesehatan, bla..bla..”.

Nah saya mau bahas di luar itu. Saya mau bahas urusan Bahasa Indonesia. Saya rasa kita paling banyak “dijajah” di sini. Dan saya rasa justru kita sendiri yang sengaja menjajah Bahasa Indonesia.

Saya kasih contoh beberapa.

Pernah ada salah satu pejabat pemerintah yang mengirimkan email ke sebuah komunitas lokal, dan memang sebagian besar isinya WNI. Isi emailnya pun memang ditujukan bagi WNI. Anehnya, isi emailnya ditulis dalam Bahasa Inggris. Jadi pejabat negara Indonesia, mengirimkan email ke warga negara Indonesia, untuk hal-hal yang berlaku bagi warga negara Indonesia, tapi dalam Bahasa Inggris.

Di lain waktu, saya pernah menonton konser salah satu artis nasional (yang sangat ngebet go-international), saya rasa anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Acara ini digelar di Monas, dan penontonnya saya rasa 99% WNI.

Di sela-sela lagunya, si artis ini memberikan pesan-pesan nasionalisme. Bagaimana kita harus menjaga persatuan, hidup dalam perbedaan, bangga dengan bangsa kita, bangga dengan pencapaian Indonesia, bangga dengan talenta-talenta dari Indonesia. Penutupnya, penyanyi ini mengatakan kalau kita harus bangga dengan bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia. Tapi semuanya itu disampaikan dalam Bahasa Inggris.

Lalu ada juga salah satu petinggi media ternama di Indonesia. Dalam salah satu tulisannya intinya dia menyesalkan kenapa orang Indonesia tidak bangga dengan Bahasa Indonesia. Suatu kemunduran dibanding jamannya dulu. Tapi tulisan itu ditulis dalam Bahasa Inggris.

Begitu juga di masyarakat.

Saya melihat anak-anak kecil berseliweran di mall-mall di Jakarta, di apartemen atau di kolam renang. Mereka kejar-kejaran, teriak-teriak, bercanda atau justru bertengkar dengan teman bermainnya, seperti anak-anak lain pada umumnya. Hanya saja mereka menggunakan Bahasa Inggris. Tapi hanya anak-anaknya saja. Orang tua mereka masih berbahasa Indonesia, kecuali ketika berbicara dengan anaknya.

Awalnya saya menduga mungkin karena mereka tinggal di luar negri dan sedang berkunjung ke Indonesia. Ternyata tidak. Mereka tidak pernah tinggal di luar negri. Hanya saja anak-anak itu disekolahkan di International School atau sejenis sekolah swasta biasa yang bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Inggris. Ada banyak sekali sekolah semacam ini, apalagi di Jakarta. Dan tidak jarang anak-anak ini ketika akhirnya tumbuh dewasa akhirnya sulit berbahasa Indonesia.

Dulu, istilah-istilah nasional pun dulu sepertinya sebisa mungkin diarahkan ke Bahasa Indonesia. ATM yang aslinya singkatan dari Automatic Teller Machine, disesuaikan jadi Anjungan Tunai Mandiri, misalnya. Kalau sekarang, istilah Car Free Day sepertinya sudah jadi istilah resmi. Contoh lainnya, “jalur busway”.

Di dunia startup juga sama. Startup yang didirikan oleh para pemuda Indonesia, dengan target market fokus ke Indonesia, entah mengapa antarmuka bahasanya justru menggunakan Bahasa Inggris.

Saya tahu, sebagian akan berargumentasi “Loh.. Sekarang ini era global bro. Lo harus fasih bahasa Inggris. What’s the problem with using English anyway? We are citizen of the world. Come on lah.., think global. Kalo lo mau maju, act like one, use English.”

Mungkin di Jepang dan Korea mereka mengikuti saran itu kali ya. Makanya Jepang dan Korea sangat maju. (*untuk yang gagal paham, Jepang dan Korea itu justru sangat bangga dengan bahasa mereka sendiri.)

Atau mungkin setelah 70 tahun merdeka, kita memutuskan menjadi seperti Singapura dan Malaysia saja ya? Secara de-facto menerima Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari maupun resmi.

Berorganisasi

[Ilustrasi: simpleinsomnia | flickr.com]

Awalnya ketemuan, atau reunian. Lalu bikin milis, atau Facebook group, atau kalau trend sekarang, bikin WhatsApp group. Setelah itu mulai ada ide “kita ketemuannya gimana kalau sebulan sekali, atau seminggu sekali, atau 4x setahun..”

Tak lama, muncul lah ide untuk mengumpulkan dana bersama, dana abadi, iuran anggota, sumbangan sukarela, atau apalah namanya. Gunanya paling simple biasanya buat bayar makan-makan pas ketemuan berikutnya. Terus nanti berkembang bisa dipakai juga untuk membantu anggota yang sedang mengalami musibah. Atau bisa juga untuk sekadar membeli kado jika ada anggota yang sedang bersukacita.

Karena sudah ada uang yang terkumpul, lalu mulai lah saling tunjuk (atau saling usul) siapa yang jadi PIC (Person in Charge). Belakangan.., mulai serius. Usul ada pemilihan ketua.

Karena sudah ada ketua, yang paling umum, nanti ada wakil ketua (karena siapa tahu nanti ketua berhalangan, atau bisa jadi penengah kalau ketua berbeda pendapat dengan anggota). Lalu didefinisikanlah tugas ketua, biar gak tumpeng tindih dengan wakil ketua. Mulai berat nih.

Karena jobdesc ketua dan wakil sudah jelas, usul lagi ada bendahara. Kemungkinan bendahara nya bakal bilang “Gue mau ngumpulin duit doang ya, tapi administrasi gitu-gitu males ah..”. Lalu ada lagi yang ditunjuk jadi sekretaris.

Karena sudah ada ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, plus.. uang yang beredar, lama-lama keluar ide agar perkumpulan ini diresmikan. Dibuatlah AD/ART.

Lalu klimaksnya tiba.

Suatu hari, uang digunakan untuk suatu hal yang menurut ketua perlu. Misal untuk aktifitas sosial, tapi disalurkan via kelompok tertentu. Ada anggota yang tidak setuju. Cuma, karena tidak besar, ya sudah dibiarkan saja.

Di hari lain, ada anggota yang mengusulkan agar dana yang terkumpul sebaiknya di-investasikan agar bisa menghasilkan tambahan dengan sendirinya. Jadi kalau nanti kumpul-kumpul, gak perlu tambahan dana. Plus, kelebihannya bisa diberikan untuk beasiswa untuk anggota, atau keluarga anggota perkumpulan. Sebagian setuju, sebagian tidak, sebagian setuju dengan syarat tertentu.

Sekali-dua kali ada beberapa pengeluaran yang tidak dilaporkan. Misal, sekadar untuk rapat ketua dan pengurus inti. Kecil nilainya. Jadi tidak ada masalah. Awalnya begitu.

Ada suatu masa, salah satu anggota mengusulkan untuk memasukkan satu orang lain. Tapi terjadi perdebatan, apakah orang itu boleh masuk grup ini atau tidak, karena satu dan lain hal. Lalu muncul lagi perdebatan, definisi anggota harus ditetapkan di AD/ART.

Sempat juga ada saja anggota grup yang sering memanfaatkan grup ini untuk ajang promosi bisnisnya. Ada juga yang lain mencoba membawa-bawa nama grup ini di aktifitasnya yang lain. Beberapa risih dengan ini. Ada yang ngomong langsung, ada yang ngomong di belakang.

Terjadi komunikasi yang membuat salah paham di grup. Entah karena ada bercandaan yang kelewatan, ada yang salah paham ucapan yang lain, ada yang suka forward tulisan-tulisan hoax provokasi, ada yang menyindir-nyindir kelompok tertentu (walaupun tahu ada anggota grup ini yang juga berafiliasi dengan kelompok itu), atau ada juga yang sekadar beda pendapat tapi terlalu serius, terutama ketika masa pemilu, atau pilkada.

Cepat atau lambat, ada satu dua orang mulai bergunjing di luar grup. Makin lama makin bertambah. Hingga suatu hari yang digunjingkan pun mendengar kabar ini, dan tidak terima.

Grup makin panas. Sebagian tidak lagi mau menyetorkan uangnya ke grup ini. Sebagian lagi sibuk mempertanyakan kemana saja uang yang pernah dikeluarkan. Puncaknya, pemilihan (atau mungkin dipaksa mencari) ketua baru. Dituntut ada program kerja, ada LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), dsb. Lalu saling tuduh, saling menarik anggota lain agar sependapat dengannya.

Akhirnya berujung perseteruan. Ada yang tidak saling sapa, ada yang unfriend di socmed, ada yang memutuskan hubungan bisnis, dsb. Dan tidak jarang akhirnya berujung pada kumpulan atau grup tandingan.

Dan rusaklah sudah grup ini. Grup yang katanya didirikan dengan niat awal untuk ajang silaturahmi, ajang membangun persaudaraan.

Grup atau perkumpulan ini bisa dari kelompok apa saja. Entah kumpulan reunian teman SD, teman-teman satu kampung, saudara satu buyut, saudara satu marga, sesama pecinta angklung, rekan kerja satu departemen di perusahaan, sesama pecinta distro Linux tertentu, rekan sesama volunteer di suatu acara, dll.

Familiar?

Kumpul-kumpul menjalin silaturahmi itu bagus, tapi ketika bertransformasi menjadi organisasi resmi, pastikan siap dengan konsekuensinya.

Ulasan Novel Negeri Para Bedebah dan The Circle

Saya baru saja menyelesaikan membaca novel Negeri Para Bedebah, karya Tere Liye. Saya suka genre nya. Saya bahkan baru tahu ada genre seperti ini di novel Indonesia. Saya bukan pembaca novel aktif sih, jadi harap maklum kalau kurang update. Bayangkan saja, novel ini sudah terbit 3 tahun lalu, dan saya baru tahu beberapa hari lalu. Teman-teman saya sudah tahu lama. Ada yang sudah baca sejak awal terbit. Ada yang malah kenal dengan penulisnya, Darwis (nama asli Tere Liye). Darwis dulu menjadi asisten dosen teman saya ini sewaktu kuliah.

Beberapa bulan sebelumnya saya juga membaca novel, setelah 6 tahun lebih tidak membaca novel. Novel yang saya baca berbahasa Inggris, judulnya The Circle, karya Deve Eggers. Itupun tertarik baca karena diceritakan oleh seorang teman saya.

Berawal dari ngomongin digital communication buat internal company, lalu ngalor ngidul ngomongin startup, internet dan privasi di internet lalu tersebut lah buku ini. Akhirnya teman saya itu meminjamkan novel bersampul pink ini. *Belakangan saya malah baru tahu dari internet kalau teman saya itu ternyata penulis novel juga. :O

The Circle ini berlatar belakang cerita tentang privasi di dunia internet, atau tepatnya di “Internet of Things” (IoT). Novelnya agak mengecewakan bagi saya karena alurnya terlalu lambat di depan. Saya paling malas kalau sudah baca bagian si Mae (tokoh utama) bergalau-galau ria, apalagi saat bergalau plus berkayak di teluk. Entahlah, bagi sebagian pembaca mungkin ini bagian yang disebut “pendalaman tokoh”, bagi saya sih membosankan aja.

The Circle menurut saya benar-benar mengambil Google sebagai latar perusahaan yang jadi cerita utama. Saya mengikuti cerita The Circle ini dengan membayangkan kantor Google yang sering saya lihat di foto-foto, video dan cerita-cerita. Mungkin Googleplex (kantor pusat Google di Mountain View, California) itu bukan visualisasi yang dimaksud Dave Eggers. Tapi saya memilih begitu saja. Jadi saya bisa tidak terlalu serius membaca detail deskripsi setiap bangunan yang diceritakan.

Kalau The Circle berbasis cerita tentang ribut-ribut soal privasi di Internet (yang masih sering mencuat sampai sekarang), Negeri Para Bedebah menurut saya benar-benar mengambil latar kejadian kisruh Bank Century yang heboh di sekitar 2009 itu. Untungnya saya cukup familiar dengan berbagai konsep dan istilah di dunia perbankan, ekonomi, investasi -setidaknya dalam cakupan yang disebut di novel ini. Dengan begitu saya cukup lancar mengikuti alur cerita ini.

Plot cerita Negeri Para Bedebah cukup memuaskan bagi saya, walaupun sejak awal saya sudah bisa menduga siapa tokoh pengkhianat dan musuh besarnya. Tokoh utamanya si Thomas pun too good to be true.

Tetapi tidak demikian dengan plot cerita The Circle. Tokoh utamanya sih realistis. Tetapi terlalu banyak bagian yang membuat jalan ceritanya menjadi banyak lubang. Tetapi saya cukup senang endingnya tidak seperti yang diharapkan sebagian besar orang.

Dalam Negeri Para Bedebah, menurut saya Tere Liye banyak menitipkan opini-opini pribadinya. Atau lebih tepatnya agak menggurui. Berbeda dengan Dave Eggers, yang menurut saya (tentu saja) ikut menyampaikan opini pribadinya, tetapi membuat pembacanya untuk berpikir sendiri. Singkatnya Eggers membuat kita jadi bertanya-tanya, sedangkan Darwis seperti sedang ceramah. Dan dari yang saya baca-baca di GoodReads.com, novel lanjutan Darwis itu -judulnya “Negeri di Ujung Tanduk”- lebih kental lagi dengan “ceramah” Tere Liye. Saya belum baca sih.

Nah, ada yang tahu gak novel Indonesia yang isinya bukan soal cinta-cintaan, dan plot twist-nya “sesadis” Game of Thrones? Boleh dong tinggalin komentar kalau ada ide.