Month: May 2015

Para Gadis dan DNS Server

[Ilustrasi: Terry Chay | tychay – flickr.com]

“Eh nanti lunch di mall yuuk cyiin..”
“Yukk.. yuk.. Mumpung gue agak santai nih. Email gue sepi.”
“Jalan sekarang aja apa ya? Gue udah beres sih..”
“Yukk, cusss..”

Para gadis-gadis AE (Account Executive) sumringah bersiap berangkat ke mall. Hanya berjumlah 5 orang, mereka cukup menggunakan 1 mobil. Waktu masih menunjukkan pukul 11.15.

Tim IT yang berada dalam satu ruangan bersama mereka sibuk dengan urusannya masing-masing di laptopnya. Cuma melirik sekilas ke arah para AE lalu kembali sibuk dengan terminal console, kode HTML, atau kode-kode lain. Dasar geek.

“Cyiin.. Lo udah dapat email belum tentang materi banner yang baru?”
“Belum sih. Katanya mau dikirim siang ini.”
“Hmm.. Gue belum terima sih”

Mereka sudah kembali dari makan siang. Tim IT juga sudah duduk manis lagi. Mereka cukup puas makan di warteg belakang.

“Dikirim ntar sore juga gapapa kok. Itu materi bannernya gampang revisinya. Sepuluh menitan juga kelar ..”, salah satu tim IT menimpali.

“Waah.. thank youu Mass..!”, sahut salah satu AE girang.

Waktu menunjukkan pukul 2.30.

“Masih belum dikirim ya materi revisi banner nya?”
“Belum cyiin.. Dese’ sibuk kalik.”
“Gue sih emang seharian belum dapat email dari pagi. Ahh senang deh sekali-kali hidup gue tenang.. hehe”
“Eh, gue jugak belum ada email masuk sama sekali dari pagi”, mulai bingung
“Hah? Gue kira client gue doang yang lagi jinak. Lo semua juga gak dapat email masuk?”
“Mas, ini kenapa ya email kita?”

“Ya berarti Google nya lagi ngaco. Itu email kita host nya di Google. Ya gak bisa apa-apa kita.”, salah satu tim IT menjawab. Ia melihat laptopnya kembali. Aneh, tidak ada masalah dengan emailnya. Hmm.. Bodo’ ah. Kembali dengan kode HTML dan CSS nya.

Selang 10 menit.

“Ini aneh deh, Mas. Lo email masuk gak?” ujar salah satu AE sambil merapikan rambutnya yang terjuntai lurus seperti ekor kuda.

“Iya nih. Gue juga.”
“Gue jugak, Mas. Aneeh dehh.”

“Masuk kok. Tauk nih Google”, jawab seorang tim IT. Tapi mulai curiga. Oh iya, dia sadar, tim AE dan tim IT menggunakan alamat domain yang berbeda. Akhirnya mulai googling, apakah mungkin Google memperlakukan Google Apps for Domain berbeda-beda untuk tiap domain.

Wah, jangan-jangan DNS servernya mati lagi. Cek ke NS server domain tim AE, semua normal. Akhirnya cek ke Domain Control Panel. Matanya melotot melihat ke nameserver yang tertulis. Ohh iya.. Nameserver domain tim AE sudah bukan di server yang dia cek tadi. Kemarin malam dia menyatukan semua Nameserver di perusahaan itu ke satu tempat lain.

Eh, tapi domain yang dipakai tim IT sekarang kan menggunakan nameserver yang sama dengan domain yang dipakai tim AE. Berarti DNS server nya gak ada masalah dong. Dia ping, test NSLOOKUP, DIG. Iya bener, nyala, lancar jaya.

Ya sudah, dia mengambil gelas, hendak membuat kopi di pantry lantai satu. Selangkah kemudian terpikir. “Eh, MX record nya sudah bener kan ya?” Lalu duduk kembali.

Cek ke konfigurasi BIND, “Dyaaaaarrr…!”. Gak ada MX record sama sekali untuk domain yang dipakai para AE. Bos IT menghampiri.

“Bro, kenapa ya nih email cewek-cewek gak masuk. Gue bingung. Padahal Google Mail gak kenapa-napa tuh.”
Berbisik, “Iya bro. Kemarin kan kita jadiin semua nameserver di satu tempat. Nah gue lupa nambahin MX Record buat domain mereka. Hehe..”
Setengah berbisik, “Ahhh elahh.. Hahaha. Ngaco lo. Buruan tambahin.”

Para AE masih sibuk sendiri. Ada yang bergosip ria, ada yang BBM-an. Ada yang berkutat dengan MS Excel.

Selesai menambahkan MX Record, dia turun ke bawah. Membuat kopi.

15 menit kemudian kembali ke lantai atas.

“Gimana, masih belum ada email masuk?”, ujar si tim IT sambil berjalan ke mejanya dengan segelas kopi di tangan.

“Udaahh, Mas..!”
“Eeee.. resek nih client gue. Dia marah-marah katanya udah dikirim materi nya dari pagi, kenapa gak direvisi juga dari sekarang.. Ya mana gue tau, emang gak masuk kok emailnya. Gembel..!”
“Iya.., client gue juga. Emailnya baru masuk sekarang bilangnya dari pagi dikirim. Ya kalo urgent telpon aja nyeeeet..”

Salah satu tim IT tadi melirik bosnya, tersenyum, lalu menenggak kopinya, memasang earphone, mendengarkan lagu Rage Against The Machine, lalu kembali ke kode HTML dan CSS nya.

..semacam true story.

 

Cerita lain: Sulitnya membuat satu halaman website.

Theme WordPress yang Bersih dan Elegan dari Automattic

Sewaktu mencari theme wordpress untuk blog ini, saya cukup sulit mencari yang sesuai dengan yang saya mau. Saya kurang familiar di mana referensi yang bagus. Ada sih situ-situs yang terkenal, tetapi banyakan theme nya berbayar.

Tadi sewaktu mampir ke blognya Thomas Arie, saya tertarik dengan theme nya. Namanya Scrawl. Dan ternyata theme ini buatan Automattic (perusahaan pembuat WordPress). Saya baru tahu kalau Automattic merilis theme-theme WordPress yang bagus – bagus. Bersih dan elegan. Coba deh lihat di sini : https://wordpress.org/themes/author/automattic/

Tak Mau Kalah dengan Vidio.com milik EMTEK, MNC Luncurkan Situs Ala YouTube: MeTube.co.id

Seperti tidak mau kalah dengan Grup EMTEK (holding SCTV dan Indosiar) yang meluncurkan Vidio.com, Grup MNC (OkeZone.com, RCTI, MNC TV, GlobalTV) pun meluncurkan situs ala YouTube yang beralamat di MeTube.co.id (redirect ke metube.okezone.com).

Vidio.com milik EMTEK diklaim memiliki konsep yang berbeda dengan YouTube, namun di tahap awal masih akan terlihat sama dengan konsep YouTube. Sementara MeTube.co.id, secara sekilas dapat dilihat memiliki konsep yang mirip sekali dengan YouTube. Tetapi, seperti EMTEK, kemungkinan MNC pun akan mengklaim bahwa mereka juga memiliki konsep yang berbeda dengan YouTube –walaupun ‘sangat kebetulan’ namanya pun mirip. Tapi kalau menurut saya, keduanya pada akhirnya akan berujung seperti YouTube sih, atau malah kembali ke YouTube?

MeTube ini bukan lah situs video ala YouTube pertama dari Okezone. Di awal-awal Okezone berdiri, saya sempat melihat ada link ke situs lain yang konsepnya mirip YouTube. Kurang jelas waktu itu apakah situs tersebut milik Okezone, atau hanya kerjasama. Sayang, sudah lupa nama situsnya.

Grup TV

Tidak heran kalau kedua grup pemilik jaringan TV ini memilih untuk mengembangkan situs video sharing. Sebagai penguasa penyiaran media visual, tentu wajar mereka berkeinginan memasuki area ini. Banyak alasannya, bisa jadi seperti ini: Read More

Platform Ketiga Bagi Pemilik Konten Online

[Ilustrasi: Mark Hunter – tartanpodcast | Flickr.com]

Kalau dulu kan platform media digital (online) itu bisa dibilang cuma satu, desktop.Walaupun cuma satu, tapi secara teknis PR nya cukup besar, karena di masa-masa itu kompatibilitas antar browser masih sangat jauh berbeda. Ya, dosa terbesarnya memang karena waktu itu IE 6 masih mayoritas sih. Pokoknya di masa-masa itu, sebelum website dipublikasikan, harus memastikan dulu tampilannya konsisten di semua browser. Ribet lah. (sekarang sih masih, tapi sudah mendingan).

Lalu belakangan platform yang mayoritas menjadi dua: desktop (website) dan mobile (aplikasi mobile/mobile site). Jadi para pemilik konten melakukan optimalisasi agar kontennya bisa disajikan dengan mudah di kedua platform tersebut. Harus sigap mengatur strategi bagaimana agar delivery konten di masing-masing platform jadi optimal. Memutuskan apakah membuat mobile-apps atau cukup mobile-site saja? Atau justru cukup website yang sudah responsif? Read More

Mengkonversi Ubuntu Linux di Laptop Menjadi VM di VirtualBox

[Ilustrasi: Alex Kleinpo – kleinpo | flickr.com]

Season 1

Sejak sekitar 3 tahun terakhir saya menggunakan MacBook sebagai mesin utama di kamar. Laptop saya sebelumnya menggunakan HP Compaq, dengan OS Ubuntu Natty (11.04). Iye.., Ubuntu versi 4 tahun yang lalu.

Laptop HP Compaq itu mau saya format ulang aja sebenarnya. Tetapi saya tidak mau kehilangan isinya. Isinya bukan sekadar data, tapi sistem operasi, aplikasi dan data-data keseluruhannya. Karena di dalamnya sudah banyak sekali aplikasi dan library yang sudah saya konfigurasi secara custom, jadi beberapa aplikasi web lokal di dalamnya sangat bergantung dengan konfigurasi tersebut. Sementara selain karena males install ulang, konfigurasi, dll nya saya juga sudah banyak lupa.

Intinya, saya mau Ubuntu Linux di laptop HP Compaq itu saya backup lengkap dengan semua aplikasi, library dan isinya dan tetap bisa saya jalankan sewaktu-waktu ketika saya butuhkan. Yang kepikiran tentunya “Coba ini laptop bisa gue bikin jadi VM ya?”. Lalu dilanjutkan, “Oh iya.., kenapa tidak?”.

Jadilah akhirnya saya googling. Saya lupa akhirnya nemu dimana. Akhirnya saya berhasil menemukan cara membuat satu partisi aktif menjadi satu file image. Bentuk ouputnya saya letakkan di hardisk eksternal. Format file outputnya .img.

Nah file itu yang saya convert menjadi file .vdi (VirtualBox Disk Image). Jangan tanya caranya.., saya udah gak inget. Saya lakukan ini tahun lalu soalnya. Yang saya ingat cuma proses ini butuh waktu berjam-jam. Ya mengingat total size nya hampir 60 Gigabita juga sih.

Setelah selesai, lalu di MacBook saya jalankan VirtualBox, add new OS, dan pilih disk-nya file .vdi tadi. Saya coba jalankan. Error. Kurang lebih pesannya “No bootable media found..”.

Saya baru sadar. Di latop lama saya itu ada 2 OS. Partisi primary pertama Windows, partisi primary kedua Ubuntu. Nah, yang saya buat jadi VM adalah partisi kedua ini. Sementara bootloadernya ada di MBR (Master Boot Record), dan itu ada di bagian pertama harddisk. Lah terus gimana cara backup Bootloader/MBR dan memasangnya ke VM?

Lalu saya ambil gitar, dan mulai memainkan.., lagu lama yang biasa.., kita nyanyikan. Tapi tak sepatah kata, yang bisa terucap.. Hanya ingatan yang ada di.. *Slank – Terlalu Manis

Tapi beneran. Akhirnya saya ambil gitar, bikin lagu, upload ke SoundCloud. VM nya gimana? Bodo amaat..

Season 2

Kemarin saya kebetulan buka-buka lagi hardisk eksternal saya itu. Melihat file .vdi backup-an laptop lama, saya kepikiran lagi, sampai susah makan, susah tidur, susah BAB sih enggak. Read More

Halaman Arsip Tulisan yang Lebih Baik dan Anti Spam WordPress Terbaik 8 Tahun Terakhir

Archive

Berhubung baru migrasi alamat blog dan hostingnya, saya kembali menelusuri tulisan-tulisan lama di blog ini. Di beberapa tulisan saya membaca komentar-komentarnya. Ternyata banyak juga blog teman-teman saya itu yang sudah musnah. Sedikit yang masih aktif. Salah satunya Adham Soemantri.

Setelah mengunjungi blognya (yang sepertinya bukan berbasis WordPress -iya gak sih bro?), saya melihat halaman arsipnya. Wah keren cara penyajiannya.

Selama ini WordPress secara default memiliki fitur untuk menampilkan arsip tulisan dalam menu dropdown, atau jadi sidebar. Sayangnya secara default tulisan ini dikelompokkan dalam kategori bulanan. Jadi untuk kami-kami yang ngeblog udah belasan tahun (ciehh), udah gak pas lagi. Jadinya terlalu panjang dropdown atau sidebarnya. Bentuk arsip seperti di blognya Adham ini lah yang pas menurut saya.

Saya mau bikin gitu juga. Tapi gak mau coding. Dan sesuai dugaan saya, ada aja yang sudah buat plugin-nya. Saya akhirnya memilih plugin Simple Yearly Archive. Hasilnya bisa dilihat di halaman Archive atau di screenshot ini. Saya cukup puas.

Anti Spam

Setelah ada halaman Archive model begini, saya jadi lebih mudah menemukan tulisan lama saya. Saya iseng cek random. Lalu saya membuka tulisan tahun 2007, Mengganti Anti-Spam WordPress. Baru nyadar euy, udah 8 tahun terakhir ini saya pakai anti-spam buatan nya si Zamroni (Matriphe.com). Dan selama 8 tahun terakhir ini bisa dihitung dengan jari saya kemasukan spam. Canggih. Padahal plugin nya ini gak pernah diupdate sama si Zam. Bahkan saya gak inget dulu saya dapat darimana. (Saya gak nyolong dari komputermu kan Zam?)

Eh, Zam nya sendiri malah udah gak pakai lagi plugin anti-spam ini. Jangan-jangan tinggal saya satu-satunya yang setia dengan plugin ini.

Blogwalking

Selain tulisan itu, saya juga jadi membuka kembali tulisan-tulisan lama. Yang menarik melihat bagian komentarnya. Akhirnya saya blogwalking lagi. Aktifitas yang entah sudah sekian tahun tidak pernah saya lakukan. Sayang banyak juga yang blognya sudah mati.

Siapa yang masih rajin ngeblog setahun terakhir ini?

Dari Sribulancer.com, BelowCepek vs Zalora, lalu Traveloka.com vs Tiket.com

[ilustrasi: Craig Sunter / flickr.com]

Ryan Gondokusumo membagikan cerita bagaimana startup yang didirikannya (Sribulancer.com) pernah diperlakukan dengan tidak etis oleh beberapa pesaingnya.

Tidak hanya dengan Sribulancer.com, beberapa kasus lain yang se-tema juga diceritakan. Misalnya, Zalora pernah membeli keyword “below cepek” untuk bersaing dengan salah satu ecommerce lokal yang cukup kondang, BelowCepek.com. Tak tanggung-tanggung, Zalora bahkan membuat subdomain khusus dengan keyword itu : below-cepek.zalora.co.id. (sekarang subdomain ini sudah tidak aktif).

Mengingat hal ini, saya langsung teringat pada Traveloka.com vs Tiket.com. Keduanya saling bersaing di pasar yang sama. Bedanya Tiket.com sudah mulai lebih dulu. Namun belakangan kalau saya lihat-lihat Traveloka justru sudah lebih besar daripada Tiket.com. Baik secara trafik maupun secara omset. Bahkan gosipnya omset Traveloka sudah 2 kali lipat omset Tiket.com. Gosip sih..

Nah, dulu, saya pernah melihat Tiket.com membeli keyword “traveloka” di Google AdWords. Jadi waktu itu saya search “traveloka” di Google. Di hasil pencarian paling atas keluar iklan dari Google AdWords. Link nya ke: traveloka.tiket.com. Nah.., mirip dengan kasus Zalora vs BelowCepek tadi kan?

Masih aktif sih subdomainnya tadi saya cek:

Etis ?

Catatan: Saya juga cek tiket.traveloka.com, tidak ada.

[Update]

Tapi Amir K (DailySocial) ternyata menemukan sebaliknya juga terjadi. Googling dengan keyword “tiket.com”, maka iklan AdWords Traveloka akan keluar di hasil pencarian. Sama-sama “pemain” ternyata. Hahaha.

Labana.ID – Sebuah Eksperimen

Seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya. Sekitar 2 bulan lalu saya bereksperimen membuat blog baru, Labana.ID. Temanya masih mirip dengan blog pribadi saya ini. Bedanya, isinya lebih serius.

Jika di blog ini saya sering menulis dengan berbagai asumsi pribadi, mengutip pernyataan seingat saya, dan menuliskan kabar burung yang tidak terkonfirmasi, di Labana.ID saya berusaha mendapatkan konfirmasi resmi, cek silang informasi yang saya dapatkan, serta mengumpulkan informasi lebih lengkap dari beberapa sumber lain.

Dan hasilnya? Well, yang paling berasa untuk saya: Menulis serius itu tidak gampang ternyata.

Sebelum memulai eksperimen Labana.ID saya membiasakan dulu untuk rutin menulis setiap hari di blog ini. Setelah ritme nya dapat, saya pikir “Ohh.., baiklah. Kalau sudah terbiasa, menulis tiap hari itu tidak sulit.”

Dengan eksperimen ini akhirnya saya menyadari kalau menulis blog pribadi secara rutin mungkin memang gampang. Karena kita bebas menulis tentang apapun. Hari ini mengkritik pemerintah, besok cerita soal anjing Husky yang seperti bisa bernyanyi, lusa menulis tetang Linux Container dan Docker, bebas saja. Enaknya lagi, tidak ada delay.

Menulis serius itu banyak delaynya. Setidaknya di Labana.ID saya rasakan begitu. Ketika hendak menuliskan kalimat sederhana “di Indonesia lebih banyak pengguna Android daripada iOS”, saya harus kembali mencari data resmi yang menyatakan memang seperti itu, lengkap dengan angkanya. Walaupun naluri saya kuat menyatakan bahwa pasti pengguna Android lebih banyak.

Contoh lainnya ketika saya menulis tentang BirDisini.com. Menurut penelurusan saya, sepertinya situs ini diprakarsai oleh Mirum (digital agency lokal). Tapi saya tidak bisa serta merta menuliskan tanpa cek silang ke Mirum. Beruntung saya memiliki kenalan di sana –walaupun pada akhirnya mereka menolak memberikan konfirmasi. Tetapi itu sudah cukup. Artinya mereka diberikan kesempataan untuk konfirmasi.

Lalu di lain waktu ketika saya hendak menulis tentang sebuah startup, saya baru menyadari saya tidak memiliki kontak langsung dengan petinggi startup tersebut. Tentu saya bisa memanfaatkan jaringan kontak saya. Tetapi ya itu tadi, jadinya membuat delay. Kalau sudah kelamaan, mood nya jadi hilang. Maklum, masih eksperimen.

Dan karena ini dilakukan di waktu senggang, seringkali waktunya terbatas. Ketika ada kesempatan untuk menemui salah satu narasumber, sekaligus mengunjungi markas besar engineering team mereka, waktunya bentrok dengan waktu kerja saya.

Ada banyak hal lainnya lagi tentunya. Tapi jadi catatan pribadi saya saja. Saat ini eksperimennya sedang istirahat. Nanti kalau waktunya pas, saya lanjutkan lagi.

The Labana Post

Sudah lama sih sebenarnya kepikiran buat mindahin blog ini ke domain lain. Cuma kok rasanya sayang, nama saya, alamat blog dan alamat email sudah konsisten semua selama bertahun-tahun: Okto Silaban, okto.silaban.net, okto@silaban.net. Tuh, keren gak? Haha.

Dan secara teknis juga sayang, karena PageRank nya (yang ajaibnya) lumayan, 3. Dulu malah sempat naik ke-4 jaman blog lagi rame-ramenya. Ya, bukan sesuatu yang penting sih. Untuk keren-kerenan aja ini mah.

Selain itu, rasanya agak gimana gitu ganti alamat blog. Karena blog ini usianya sudah 11 tahun. Dan (kalau tidak salah), sejak 8 atau 9 tahun terakhir konsisten menggunakan alamat okto.silaban.net.

Lalu kenapa alamatnya LabanaPost.com?

Ini gak sengaja sebenarnya. Tadinya saya sedang eksperimen membuat satu blog lagi yang isinya mirip-mirip dengan di blog pribadi saya ini, tapi lebih serius. Saya maunya namanya Labana.com. Tapi berhubung domainnya tidak tersedia, akhirnya memilih Labana.ID. Tetapi setelah blog itu live, malah baru kepikiran kenapa namanya bukan LabanaPost.com saja? Ala-ala nama media-media besar gitu.

Akhirnya domain itu saya beli. Labana.ID sempat dipindah ke domain itu. Tapi cuma sehari. Dipikir-pikir kayaknya biarin aja lah brand nya jadi Labana.ID, akun twitternya juga konsisten @LabanaID.

(Labana.ID ini statusnya memang masih eksperimen. Jadi harap maklum kalau belum ada konten baru lagi di sana).

Karena itulah, jadinya domain LabanaPost.com nya nganggur. Nah karena saya emang mau pindah alamat blog ke domain sendiri, ya sudah dimanfaatkanlah domain ini.

Pergantian alamat blog ini juga statusnya eksperimen. Bisa jadi nanti saya malah balik lagi pakai domain lama: okto.silaban.net. We’ll see..

BBC Indonesia sedang Mencari Trafik ?

Feed ini muncul di newsfeed Facebook saya. Judulnya sih sangat bombastis. Apalagi yang nulis akun Facebook resmi BBC Indonesia.

Lalu saya buka link beritanya. Ternyata isinya ini:

Lah kok?

Melihat komentar-komentar di Facebook mereka sih isinya jadi ramai karena kontroversi soal fatwa MUI ini. Walaupun beritanya gak ada hubungan dengan fatwa MUI ini.

Ini, BBC Indonesia lagi ngapain sih? Segitunya ya nyari trafik..? Ya banyak sih portal-portal berita lain yang kaya gitu.:(

Diakui atau tidak, untuk saat ini, di Indonesia, sepertinya memang trafik itu masih jadi “mata uang” media online.

Link: Sampai tulisan ini dimuat, link nya masih aktif di akun Facebook BBC Indonesia.