Month: August 2015

Pengemudi Ojek Berbasis Aplikasi yang Akhirnya Tertular Penyakit Ojek Pangkalan

[Ilustrasi: Justin Poliachik – justinpoliachik | flickr.com]

Beberapa waktu lalu banyak kita dengar cerita pengemudi Gojek yang menjadi korban kekerasan dari ojek pangkalan. Pasalnya sederhana, ojek pangkalan tidak terima Gojek mengambil penumpang di “wilayah mereka”.

Banyak masyarakat yang bersimpati dengan pengemudi Gojek. Menurut sebagian orang kelakukan ojek pangkalan itu tidak pantas. “Cari makan ya harusnya adil aja, tidak perlu mengaku-ngaku sebagai penguasa wilayah tertentu. Suka-suka konsumen mau menggunakan yang mana.” Kira-kira begitu pendapat mereka.

Sampai hari ini beberapa daerah dipasangi spanduk oleh pengemudi ojek pangkalan. Isi spanduknya jelas, melarang Gojek beroperasi di wilayah tersebut. Salah satu yang cukup terkenal di daerah Apartemen Kalibata City, Jakarta. Tidak bisa dipungkiri kalau itu salah satu bentuk intimidasi terhadap ojek berbasis aplikasi.

Nah, dalam tulisan saya sebelum ini, saya mengulas bagaimana dugaan saya mengenai fase perubahan ojek berbasis aplikasi (Gojek dan GrabBike) secara sosial. Ternyata bukan isapan jempol. Salah satu dugaan saya itu sudah terjadi.

Kejadiannya di area seputar salah satu apartemen di daerah Jakarta Barat. Awalnya hanya pengemudi Gojek yang mangkal disitu. Lama kelamaan mulai ramai pengemudi GrabBike. Nah karena promosi GrabBike hanya Rp 5.000 (dibanding Gojek yang 15.000), akhirnya lambat laun penghuni apartemen memilih Grab Bike.

Dulu penghuni apartemen keluar pintu belok kanan (tempat pengemudi Gojek mangkal), belakangan hampir semua belok kiri (tempat pengemudi Grab Bike mangkal). Pengemudi Gojek pun cemburu. Akhirnya salah satu dari mereka ada yang mendatangi pengemudi Grab Bike yang mangkal. Meminta agar mereka tidak lagi mangkal di situ. Ujung-ujungnya ribut, hingga berkelahi. Untung ada satpam, sehingga berhasil dilerai. Kalah jumlah, akhirnya salah satu kelompok pindah mangkal ke area menara apartemen yang lain.

Jadi, kalau dulu pengemudi Gojek diintimidasi oleh ojek pangkalan, ternyata sebagian dari mereka sudah belajar dari situ, gimana cara mengintimidasi pengojek lainnya.

Taksi

Kejadian seperti ini tidak hanya di urusan ojek sih. Di dunia taksi juga sama. Banyak titik-titik yang sudah “dikuasai” kelompok pengemudi taksi tertentu.

Salah satu contohnya, sudah jadi rahasia umum kalau nunggu kita tidak akan berhasil naik taksi Blue Bird di salah satu area dekat gerbang keluar tol Pasteur, Bandung. Pengemudi burung biru ini tidak ada yang berani ambil penumpang di situ. Karena di area itu sudah banyak nangkring taksi lokal. Cerita-cerita dari sopir sih, kadang dipukuli kalau sampai berani ngambil penumpang di daerah situ.

Yang jelas penularan penyakit seperti ini harus dicegah. Apalagi mengingat jumlah pengemudi ojek berbasis aplikasi ini sudah di sekitar angka ratus ribuan. Kalau sempat banyak yang tertular, terlalu sulit untuk mengobatinya.

Amazon Underground yang Aneh

Internet sedang ramai dengan Amazon Underground. Ini proyek baru dari Amazon.com (raksasa e-commerce dan cloud services).

Selama ini kan banyak aplikasi yang berlabel “gratis”, tapi kenyataannya di dalamnya penuh dengan fitur-fitur, virtual item, dsb-nya yang harus dibeli. Istilah kerennya “In-app purchase – IAP”. Di Amazon Underground ini, kita (pengguna Android) bisa mengunduh aplikasi yang benar-benar gratis 100%. Amazon sudah bekerjasama dengan banyak pengembang untuk memungkinkan hal ini terjadi. Singkatnya, sebagai ganti IAP, Amazon membayar ke pengembanga aplikasi untuk waktu yang digunakan pengguna. Jangan khawatir, yang bayar Amazon kok, bukan kita.

Untuk bisa mengunduh aplikasi “Actually Free” ini tidak bisa via Google Playstore. Jadi kita harus download Amazon Underground. Dan itulah yang saya lakukan. Link downloadnya ada di: http://amazon.com/underground.

Setelah selesai instalasi, saya melihat daftar aplikasi gratis di aplikasi Amazon Underground ini. Game “Cut the Rope” ada di situ, berlabel “Actually Free”. Saya klik. Tapi yang keluar malah pesan agar saya memperbaharui Amazon App ke Amazon Underground. Ini aneh, karena tadi yang saya download kan Amazon Underground. Hmm.

Saya coba klik “Update Now”. Tapi makin aneh, yang keluar malah pesan kalau saya tidak dapat memasang aplikasi ini karena batasan geografis yang dilakukan Amazon.


Loh, ada batasan toh? Saya kepingin tahu apa batasannya, jadi saya masuk saya ke link “Why?” itu. Setelah saya baca, makin aneh lagi, ternyata di daftar negara yang boleh menginstal aplikasi ini, ada Indonesia. Lah, kok?

Fase Pengemudi Gojek (dan GrabBike) Berikutnya

[Ilustrasi: Convention In Session, 3Am – Clark Demonstration | pond5.com]

Beberapa hari lalu saya menggunakan jasa Gojek. Pengemudinya bercerita, ada salah satu pengemudi Gojek meninggal saat membelikan pesanan seorang pelanggan. Bukan karena apa-apa, tapi memang karena sakit. Kurang jelas, sakit jantung atau “angin duduk”.

Kabar meninggalnya pengemudi ini menyebar dengan cepat di grup-grup Whatsapp para pengemudi Gojek. Dan akhirnya banyak yang datang melayat. “Kita mah pada gak kenal, Mas. Tapi ya, kita ngerasa sesama sodara aja gitu sesama pengemudi Gojek”, begitu ujar pria yang pernah bekerja sebagai staff di salah satu hotel top di Jakarta ini.

Di lain waktu, saya pernah ngobrol dengan pengemudi Gojek. Cerita soal ojek pangkalan yang menentang keberadaan Gojek, bahkan kadang sampai melakukan kekerasan kepada pengemudi Gojek. Pria muda ini lalu mengatakan, “Kita sih Mas sebenarnya bisa aja balas. Kaya yang di Sawangan itu. Sekarang gini aja, Mas, mereka yang di pangkalan itu cuma berapa orang sih? Lagian mereka kan mangkal di situ terus, kita kalau mau balas serang, gampang nyari mereka. Lagian jelas banyakan kita. Ribuan orang juga bisa kita gerakin. Mereka malah susah kan bales kita. Lah wong kita tersebar kok. Ya, gak Mas?”

Tak lama kemudian saya membaca di media online, ada konvoi ribuan pengemudi Gojek untuk mengantarkan jenazah salah satu pengemudi Gojek yang meninggal karena kecelakaan. Alasannya karena solidaritas sesama pengemudi Gojek.

Dari satu sisi, yang saya lihat belakangan ini baru jadi semacam “unjuk kekuatan” yang tidak disengaja.  Berkumpul bersama, demi solidaritas. Tapi bisa jadi belakangan, setelah sadar mereka punya kekuatan, akhirnya berubah jadi “unjuk kekuatan” beneran. Dan seperti yang dikhawatirkan beberapa pengamat di dunia online, bukan tidak mungkin nantinya ada organisasi yang merangkul mereka, atau justru mereka membuat organisasi sendiri.

Lalu bagaimana dengan GrabBike? Bisa jadi sama. Urusan cari duit di jalanan itu sejak dulu memang keras. Jika sudah semakin besar, mungkin pengemudi GrabBike dan Gojek awalnya bersatu. Mereka “unjuk kekuatan” dulu ke ojek-pangkalan yang nyata-nyata menolak keras keberadaan mereka. Fase berikutnya, di antara mereka sendiri bisa terjadi pergesekan.

Lalu muncul lah elemen berikutnya. Serikat buruh.

Di sini semakin rumit. Karena pengemudi Gojek dan GrabBike bukanlah karyawan dari Gojek ataupun GrabBike. Mereka semua pekerja lepas. Membuat serikat buruh seperti layaknya di perusahaan-perusahaan manufacturing itu mungkin bakal membutuhkan format dan kerangka aturan yang berbeda. (Disclaimer: saya bukan ahli hukum) Bisa jadi akhirnya mereka akan mulai menuntut berbagai hal.

Seperti kumpulan massa dalam format dan alasan apapun, jika tidak hati-hati bisa jadi suatu saat mereka ditunggangi kepentingan tertentu. Mudah-mudahan Gojek (ataupun GrabBike) sudah siap dengan kemungkinan ini.

70 tahun Indonesia Merdeka, Mari Berbahasa Inggris

[Foto: tania_huiny | Flickr.com]

Ini tulisan yang terlambat. Tapi lebih baik daripada tidak lah ya.

70 tahun Indonesia merdeka, seperti biasa komentar orang-orang masih sering “Ah.., apanya merdeka. Masih banyak yang gak beres, hukum kita, aparat kita, kebebasan beragama, pendidikan kesehatan, bla..bla..”.

Nah saya mau bahas di luar itu. Saya mau bahas urusan Bahasa Indonesia. Saya rasa kita paling banyak “dijajah” di sini. Dan saya rasa justru kita sendiri yang sengaja menjajah Bahasa Indonesia.

Saya kasih contoh beberapa.

Pernah ada salah satu pejabat pemerintah yang mengirimkan email ke sebuah komunitas lokal, dan memang sebagian besar isinya WNI. Isi emailnya pun memang ditujukan bagi WNI. Anehnya, isi emailnya ditulis dalam Bahasa Inggris. Jadi pejabat negara Indonesia, mengirimkan email ke warga negara Indonesia, untuk hal-hal yang berlaku bagi warga negara Indonesia, tapi dalam Bahasa Inggris.

Di lain waktu, saya pernah menonton konser salah satu artis nasional (yang sangat ngebet go-international), saya rasa anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Acara ini digelar di Monas, dan penontonnya saya rasa 99% WNI.

Di sela-sela lagunya, si artis ini memberikan pesan-pesan nasionalisme. Bagaimana kita harus menjaga persatuan, hidup dalam perbedaan, bangga dengan bangsa kita, bangga dengan pencapaian Indonesia, bangga dengan talenta-talenta dari Indonesia. Penutupnya, penyanyi ini mengatakan kalau kita harus bangga dengan bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia. Tapi semuanya itu disampaikan dalam Bahasa Inggris.

Lalu ada juga salah satu petinggi media ternama di Indonesia. Dalam salah satu tulisannya intinya dia menyesalkan kenapa orang Indonesia tidak bangga dengan Bahasa Indonesia. Suatu kemunduran dibanding jamannya dulu. Tapi tulisan itu ditulis dalam Bahasa Inggris.

Begitu juga di masyarakat.

Saya melihat anak-anak kecil berseliweran di mall-mall di Jakarta, di apartemen atau di kolam renang. Mereka kejar-kejaran, teriak-teriak, bercanda atau justru bertengkar dengan teman bermainnya, seperti anak-anak lain pada umumnya. Hanya saja mereka menggunakan Bahasa Inggris. Tapi hanya anak-anaknya saja. Orang tua mereka masih berbahasa Indonesia, kecuali ketika berbicara dengan anaknya.

Awalnya saya menduga mungkin karena mereka tinggal di luar negri dan sedang berkunjung ke Indonesia. Ternyata tidak. Mereka tidak pernah tinggal di luar negri. Hanya saja anak-anak itu disekolahkan di International School atau sejenis sekolah swasta biasa yang bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Inggris. Ada banyak sekali sekolah semacam ini, apalagi di Jakarta. Dan tidak jarang anak-anak ini ketika akhirnya tumbuh dewasa akhirnya sulit berbahasa Indonesia.

Dulu, istilah-istilah nasional pun dulu sepertinya sebisa mungkin diarahkan ke Bahasa Indonesia. ATM yang aslinya singkatan dari Automatic Teller Machine, disesuaikan jadi Anjungan Tunai Mandiri, misalnya. Kalau sekarang, istilah Car Free Day sepertinya sudah jadi istilah resmi. Contoh lainnya, “jalur busway”.

Di dunia startup juga sama. Startup yang didirikan oleh para pemuda Indonesia, dengan target market fokus ke Indonesia, entah mengapa antarmuka bahasanya justru menggunakan Bahasa Inggris.

Saya tahu, sebagian akan berargumentasi “Loh.. Sekarang ini era global bro. Lo harus fasih bahasa Inggris. What’s the problem with using English anyway? We are citizen of the world. Come on lah.., think global. Kalo lo mau maju, act like one, use English.”

Mungkin di Jepang dan Korea mereka mengikuti saran itu kali ya. Makanya Jepang dan Korea sangat maju. (*untuk yang gagal paham, Jepang dan Korea itu justru sangat bangga dengan bahasa mereka sendiri.)

Atau mungkin setelah 70 tahun merdeka, kita memutuskan menjadi seperti Singapura dan Malaysia saja ya? Secara de-facto menerima Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari maupun resmi.

Berorganisasi

[Ilustrasi: simpleinsomnia | flickr.com]

Awalnya ketemuan, atau reunian. Lalu bikin milis, atau Facebook group, atau kalau trend sekarang, bikin WhatsApp group. Setelah itu mulai ada ide “kita ketemuannya gimana kalau sebulan sekali, atau seminggu sekali, atau 4x setahun..”

Tak lama, muncul lah ide untuk mengumpulkan dana bersama, dana abadi, iuran anggota, sumbangan sukarela, atau apalah namanya. Gunanya paling simple biasanya buat bayar makan-makan pas ketemuan berikutnya. Terus nanti berkembang bisa dipakai juga untuk membantu anggota yang sedang mengalami musibah. Atau bisa juga untuk sekadar membeli kado jika ada anggota yang sedang bersukacita.

Karena sudah ada uang yang terkumpul, lalu mulai lah saling tunjuk (atau saling usul) siapa yang jadi PIC (Person in Charge). Belakangan.., mulai serius. Usul ada pemilihan ketua.

Karena sudah ada ketua, yang paling umum, nanti ada wakil ketua (karena siapa tahu nanti ketua berhalangan, atau bisa jadi penengah kalau ketua berbeda pendapat dengan anggota). Lalu didefinisikanlah tugas ketua, biar gak tumpeng tindih dengan wakil ketua. Mulai berat nih.

Karena jobdesc ketua dan wakil sudah jelas, usul lagi ada bendahara. Kemungkinan bendahara nya bakal bilang “Gue mau ngumpulin duit doang ya, tapi administrasi gitu-gitu males ah..”. Lalu ada lagi yang ditunjuk jadi sekretaris.

Karena sudah ada ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, plus.. uang yang beredar, lama-lama keluar ide agar perkumpulan ini diresmikan. Dibuatlah AD/ART.

Lalu klimaksnya tiba.

Suatu hari, uang digunakan untuk suatu hal yang menurut ketua perlu. Misal untuk aktifitas sosial, tapi disalurkan via kelompok tertentu. Ada anggota yang tidak setuju. Cuma, karena tidak besar, ya sudah dibiarkan saja.

Di hari lain, ada anggota yang mengusulkan agar dana yang terkumpul sebaiknya di-investasikan agar bisa menghasilkan tambahan dengan sendirinya. Jadi kalau nanti kumpul-kumpul, gak perlu tambahan dana. Plus, kelebihannya bisa diberikan untuk beasiswa untuk anggota, atau keluarga anggota perkumpulan. Sebagian setuju, sebagian tidak, sebagian setuju dengan syarat tertentu.

Sekali-dua kali ada beberapa pengeluaran yang tidak dilaporkan. Misal, sekadar untuk rapat ketua dan pengurus inti. Kecil nilainya. Jadi tidak ada masalah. Awalnya begitu.

Ada suatu masa, salah satu anggota mengusulkan untuk memasukkan satu orang lain. Tapi terjadi perdebatan, apakah orang itu boleh masuk grup ini atau tidak, karena satu dan lain hal. Lalu muncul lagi perdebatan, definisi anggota harus ditetapkan di AD/ART.

Sempat juga ada saja anggota grup yang sering memanfaatkan grup ini untuk ajang promosi bisnisnya. Ada juga yang lain mencoba membawa-bawa nama grup ini di aktifitasnya yang lain. Beberapa risih dengan ini. Ada yang ngomong langsung, ada yang ngomong di belakang.

Terjadi komunikasi yang membuat salah paham di grup. Entah karena ada bercandaan yang kelewatan, ada yang salah paham ucapan yang lain, ada yang suka forward tulisan-tulisan hoax provokasi, ada yang menyindir-nyindir kelompok tertentu (walaupun tahu ada anggota grup ini yang juga berafiliasi dengan kelompok itu), atau ada juga yang sekadar beda pendapat tapi terlalu serius, terutama ketika masa pemilu, atau pilkada.

Cepat atau lambat, ada satu dua orang mulai bergunjing di luar grup. Makin lama makin bertambah. Hingga suatu hari yang digunjingkan pun mendengar kabar ini, dan tidak terima.

Grup makin panas. Sebagian tidak lagi mau menyetorkan uangnya ke grup ini. Sebagian lagi sibuk mempertanyakan kemana saja uang yang pernah dikeluarkan. Puncaknya, pemilihan (atau mungkin dipaksa mencari) ketua baru. Dituntut ada program kerja, ada LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), dsb. Lalu saling tuduh, saling menarik anggota lain agar sependapat dengannya.

Akhirnya berujung perseteruan. Ada yang tidak saling sapa, ada yang unfriend di socmed, ada yang memutuskan hubungan bisnis, dsb. Dan tidak jarang akhirnya berujung pada kumpulan atau grup tandingan.

Dan rusaklah sudah grup ini. Grup yang katanya didirikan dengan niat awal untuk ajang silaturahmi, ajang membangun persaudaraan.

Grup atau perkumpulan ini bisa dari kelompok apa saja. Entah kumpulan reunian teman SD, teman-teman satu kampung, saudara satu buyut, saudara satu marga, sesama pecinta angklung, rekan kerja satu departemen di perusahaan, sesama pecinta distro Linux tertentu, rekan sesama volunteer di suatu acara, dll.

Familiar?

Kumpul-kumpul menjalin silaturahmi itu bagus, tapi ketika bertransformasi menjadi organisasi resmi, pastikan siap dengan konsekuensinya.