Month: September 2015

Lapak DVD Bajakan

Ini poster yang terpasang di lantai dasar, mall Ratu Plaza, daerah Senayan. Padahal rata-rata orang juga tahu di lantai atas bertebaran lapak DVD bajakan.

Gak cuma di Ratu Plaza saja sih. Di Ambassador, Poins Square Lebak Bulus, ITC Permata Hijau, dll juga banyak kok yang terang-terangan buka lapak DVD bajakan. Ini artinya, pengelola gedung jelas-jelas tahu dan mengijinkan penggunaan gedungnya untuk jual beli ilegal.

Kalau terang-terangan begitu, kenapa gak ditindak? Nah, saya juga heran. Mungkin potongan tulisan dari neraca.co.id ini bisa sedikit memberikan petunjuk:

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Bigjen Pol Bambang Waskito mengatakan selama ini laporan tentang pembajakan ini hanya berupa surat dan tidak dilengkapi dengan alat bukti.”Kalau permasalahan yang tau Satgas ini, namun selama ini sering kali laporan yang masuk tidak memiliki alat bukti sehingga kami susah untuk mengusut pembajakan itu,” kata dia.

Saya gak ngerti hukum sih. Mungkin toko yang jelas-jelas menjual DVD bajakan di dalam mall itu dalam hukum gak bisa dijadikan bukti. Mungkin.. -_-

Nah, baru-baru ini pemerintah sudah membentuk Badan Ekonomi Kreatif, dikepalai oleh Triawan Munaf (ayahnya Sherina Munaf). Badan ini akhirnya membentuk Satuan Tugas Penanganan Pengaduan Pembajakan Karya Musik dan Film (Satuan Tugas Anti Pembajakan). Mari kita lihat, paling enggak, tahun 2016 nanti apakah mencari DVD bajakan makin susah, atau masih sama mudahnya?

Kuota Internet dan Program Sarjana

[Ilustrasi: Quinn Dombrowski – flickr.com/quinnanya]

Anto (nama samaran) sekarang kebetulan menggunakan ponsel yang bisa menggunakan 2 sim card. Seorang teman Anto, sebut saja namanya Luba Noto Gejayan, biasa disingkat Luba N.G, memiliki ponsel yang sama. Menurut Luba, sim card utama (untuk telpon dan SMS) mending dipisah saja dengan sim card khusus internetan. Jadinya bakal lebih murah katanya.

Tergiur cerita Luba, Anto mencoba mencari sim card prabayar lain khusus untuk paket internet. Mulailah Anto mencari informasinya di internet.

Selama ini Anto menggunakan kartu Halo Telkomsel (pascabayar). Informasi biaya paket internetannya cukup mudah dipahami. Bayar sekian, kuotanya maksimal sekian sebulan. Selesai. Tetapi tidak seperti itu di kartu prabayar. Anto baru tahu, ternyata untuk paket internet kartu prabayar, skemanya sangat rumit. Dan ini berlaku rata di semua operator (Telkomsel, XL, Indosat, Tri).

Begini contoh ilustrasinya:

  • Ada yang terlihat harganya lumayan, kuota (misal) 4,5 GB. Tapi ternyata 3GB nya untuk akses via ponsel, 1,5GB nya untuk akses via WiFi si operator, 2GB kuota hanya berlaku di jaringan 4G, sisanya di jaringan 3G/3.5G.
  • Ada yang harganya berbeda-beda di tiap lokasi. Dan sewaktu Anto membuka websitenya, lokasi Jakarta Selatan tidak ditemukan. Identifikasi menggunakan Geolocation di browser pun tidak berjalan, jadi Anto sama sekali tidak bisa cek harganya.
  • Ada yang berbeda berdasarkan waktu penggunaan. Kuota terlihat besar, tetapi ada pembagian waktu. Misal, total kuota 10GB. Jam 9-12 siang 2GB, jam 12 siang sampai jam 6 sore 1 GB, jam 6 sore sampai jam 12 malam 500 MB, sisanya jam 12 malam sampai jam 9 pagi, 6.5GB.
  • Dan ini yang paling pamungkas, ada yang gabungan dari 3 skema di atas. Luar biasa !

Skema ini makin diperumit dengan pilihan paket dengan nama berbeda-beda, dan masing-masing paket, beda-beda skema harga. Informasi ini pun susunan informasinya di website masing-masing bisa dibilang berantakan.

Memang ada saja orang yang dengan senang hati merangkum informasi ini dan menuliskannya di blog atau forum. Tapi ini tidak begitu membantu juga, karena skema paket dan harganya itu cepat sekali berubah. Informasi yang dirangkum di bulan Februari, sangat mungkin di bulan September sudah tidak berlaku.

Begitu Anto mencoba menyampaikan keluhannya ke para operator, jawaban mereka adalah “Ini hal yang bagus, Pak Anto. Justru dengan begitu banyaknya pilihan paket internet ini, pelanggan bisa bebas menentukan mana paket yang paling tepat bagi mereka.”

Anto merasa sedih. Dengan begitu banyaknya pilihan, bagaimana caranya dia bisa memilih mana paket internet yang paling pas untuknya. Akhirnya Anto berkonsultasi kembali dengan Luba.

Tips dari Luba singkat. Kuliah lagi saja. Program Studi S1 Ilmu Internetan, dengan gelar sarjana Sarjana Ilmu Internetan. Luba dulu mengambil kuliah ini. Ikut kelas malam, demi bisa mengerti dan menjadi ahli paket-paket internet dari operator telekomunikasi.

Awalnya Anto tidak percaya, sampai akhirnya Luba menunjukkan ijazah Sarja Ilmu Internet-nya. Ternyata Luba tidak bohong. Ijazahnya benar-benar ada. Nama Luba tertulis di situ, lengkap dengan gelarnya: Luba.NG, S.Ilit.

Portal-Portal Berita di Indonesia

[Ilustrasi: GotCredit – jakerust| flickr.com]

Tulisan ini tadinya adalah bagian dari tulisan tentang ulasan desain baru portal Okezone.com. Saya pikir bagian ini cukup luas untuk dijadikan tulisan tersendiri, jadi saya potong dan pindah ke sini, tentunya dengan beberapa pembaharuan.

Sampai saat ini, klasemen liga portal berita di Indonesia masih diisi oleh tim-tim lama. Memang posisinya berganti-ganti, namun Detikcom tetap nomor satu. Sisanya diisi oleh:

  • Liputan6.com (yang belakangan melesat masuk ke top 3)
  • Kompas.com
  • Tribunnews.com (juga milik Kompas, tapi kualitas beritanya menurut saya masih di bawah Kompas)
  • Merdeka.com (grup KapanLagi, yang baru diakuisi grup MediaCorp dari Singapura)
  • Okezone.com (yang baru ditinggal oleh bosnya, Roy Simangunsong. Ia sekarang menjadi bos Twitter Indonesia)
  • Viva.co.id
  • Suara.com (nah ini tergolong pendatang baru)
  • Tempo.co
  • KapanLagi.com (mm.., ini bukan portal berita sih, portal infotainment kali ya lebih tepatnya).

Saya rasa beberapa menarik untuk diulas lebih dalam:

Suara.com

Suara.com ini luar bisa. Dulu, dalam hitungan bulan, dia sudah berhasil melesat masuk dalam 40 situs paling top di Indonesia. Kemudian saya sempat lihat kayaknya mereka pernah masuk top 10 atau top 20 juga sih. Tapi hari ini saya lihat sudah keluar dari top 20. Mungkin dugaan saya dulu benar, trafik mereka kebanyakan disumbang dari digital-ads. Jadi ketika ad-placement nya sudah berkurang, ya trafiknya menurun juga. Dulu Vivanews gosipnya pernah melakukan strategi ini juga. Dalam seminggu posisinya di Alexa bisa melesat jauh. Gosip sih.

Merdeka.com / KapanLagi Networks

Merdeka.com (atau tepatnya KapanLagi Networks-nya), dulu sempat diduga bakal jadi akuisisi dengan nominal yang luar biasa. Pernah hampir diakusisi oleh EMTEK (pemilik KMK -yang menaungi Liputan6.com). Tapi di tengah jalan berbelok, merapat ke MediaCorp. Akhirnya 52% sahamnya dilepas ke MediaCorp (perusahaan asal Singapura). Berbeloknya KapanLagi ke MediaCorp ini tidak lepas dari campur tangan Andi S. Boediman (VC Ideosource, ex-CEO Plasa.com).

Nilai akuisisinya? Dari sumber yang cukup dekat dengan mereka, valuasi untuk 100% saham KapanLagi Network adalah US$ 87 juta. Tapi, MediaCorp akhirnya hanya mengambil saham KapanLagi sebesar 52% saja.

Secara nilai, valuasi 100% saham KapanLagi naik lumayan lah dibanding akusisi Detikcom 100% oleh CT Corps tahun 2010 lalu, yaitu US$ 60 juta. Kalau itungan bodo-bodoan, dengan inflasi 7% setahun, maka “harga” Detikcom kalau diakusisi tahun 2014 jadi sekitar US$ 78jt.

Grup KapanLagi ini sangat agresif. Untuk situs ala-ala BuzzFeed, mereka meluncurkan Feed.ID dan Brilion.net. Menurut saya sih kedua situs ini mirip-mirip jenis kontennya, entah kenapa dibuat 2 jenis. Tapi mungkin kalau dilihat layoutnya, mungkin Feed.ID lebih fokus ke pengguna mobile.

Selain itu, KapanLagi juga meluncurkan Techno.ID, gak tahu persisnya kapan. Ini ala-ala Trenologi.com gitu deh menurut saya.

Kompas.com

Tidak kalah, Kompas.com juga melahirkan situs semacam Trenologi (err, kombinasi Trenologi & DailySocial kali ya), namanya Nextren.com. Tapi walaupun sudah ada Nextren, mereka masih mengelola KompasTekno. Padahal demografi pengunjungnya mirip-mirip menurut saya. Ya, mungkin sekarang masih berasa mirip, nanti baru kelihatan bedanya. Kita lihat saja nanti.

Saya masih penasaran apa yang terjadi dengan Urbanesia.com setelah diakusisi oleh Kompas.com. Di sekitar tahun 2009 saya memang mendengar kabar Kompas.com ingin sekali memiliki situs directory listing. Mereka sudah pernah coba buat. Tapi entah mengapa, setelah memiliki Urbanesia, akhirnya Urbanesianya malah tutup.

Okezone.com

Okezone? Sudah diulas di sini.

Liputan6.com / KMK

KMK (Kreatif Media Karya) -grup yang menaungi Liputan6.com- juga sedang aktif-aktifnya. Selain sibuk mengejar posisi Detikcom, KMK juga melahirkan Vidio.com (semacam YouTube, tapi mereka tidak mau disebut begitu), dan Bintang.com (semacam DetikHot atau KapanLagi). Tentunya selain investasi (akusisi?) Karir.com, Bukalapak.com dan Rumah.com.

Beritagar.ID / MPI – GDP Venture

Oh iya, ada pemain yang masih cukup baru, namanya Beritagar.ID. Ini hasil gabungan Beritagar.com dengan Lintas.me, atau lebih tepatnya MPI (Merah Putih Incubator – pemilik Lintas.me) mengakuisisi Beritagar.com, lalu menggabungkan Lintas.me dengan Beritagar.ID. MPI sendiri berada di bawah bendera GDP (Global Digital Prima) – Grup Djarum. Kaskus dan Blibli.com termasuk portofolio GDP.

Disclaimer: Saya pernah memiliki hubungan kerja dengan MPI.

Beritagar.ID ini menarik. Sepemahaman saya, berbeda dengan portal-portal berita lain yang punya jumlah awak jurnalis yang banyak sebagai andalan pengumpulan informasi, Beritagar.ID justru mengandalkan teknologi untuk pengumpulan beritanya. Ada 2 teknologi. Satu teknologi untuk mencari dan mengolah berita, satu teknologi lagi untuk menampilkan konten yang relevan. Walaupun mengandalkan teknologi, tetapi editor akhir artikel di Beritagar.ID tetap dilakukan oleh manusia.

Yang terbesar ?

Dari segitu banyak pemain media digital, saya rasa penguasa media digital Indonesia paling besar saat ini dipegang KapanLagi Networks. Portofolio grup ini terbentang dari KapanLagi, Merdeka, Fimela, Brilio.net, Otosia, Feed.ID, Vemale, Sooperboy, Dream.co.id, Hemat.com, dll. Saya gak punya angkanya sih. Nebak-nebak doang ini.

Model Bisnis

Walaupun pemain di media digital Indonesia semakin ramai. Tetapi sepertinya model bisnisnya tidak jauh berubah.

Secara umum model bisnisnya masih di seputar ini:

  • Banner ads & contextual ads. Pada dasarnya kaya Google AdSense lah. Saya sih pake AdBlock Plus, jadi hampir gak pernah lagi menemui iklan seperti ini.
  • Advertorial / Sponsored Post
  • Native Advertising. Ini cukup baru, tapi pada dasarnya mirip-mirip advertorial sih. Bedanya kalau advertorial itu hard-selling, kalau native advertising soft selling, jadi bisa “menyatu” menjadi artikel biasa, dan seringkali pengunjung gak sadar kalau itu sebenarnya iklan.
  • Paywall. Maksudnya, buat baca artikel lengkapnya harus bayar. Dulu DetikPortal.com melakukan ini. Tapi sepertinya gak sukses, jadi gak jalan lagi. Orang Indonesia mah buat beli game iPhone aja rela nge-jailbreak (padahal sanggup beli iPhone), jadi boro-boro diminta bayar buat baca berita.

Di US model-model bisnis seperti di atas sudah semakin sulit. Tapi kalau di Indonesia mungkin masih lama sih sampai di tahap itu, jadi fokus nyari trafik aja dulu ya.

End Game

Saya yakin dari sekian banyak pemain grup-grup media digital ini, ada yang fokus “end game”-nya bukan untuk menjaga bisnisnya bertahan selama mungkin. Pasti ada yang fokusnya mengincar exit, baik itu exit diakuisisi, ataupun exit IPO.

Kalau exit diakusisi kan sudah tuh -entah memang dengan alasan sudah jadi tujuan awal atau sekadar adaptasi bisnis. Nah siapa nanti yang jadi bakal exit dengan IPO pertama kali ya?

Linux dan Kesejahteraan Karyawan

Salah satu potongan obrolan saya dengan beberapa teman.

“Dia jadi apply ke tempat lo?”

“Iya. Dia mah yang penting pindah dari kantornya sekarang.”

“Loh, kenapa?”

“Bayangin aja, semua komputer di sana pake Linux. Gak modal banget tuh perusahaan. Urusan kesejahteraan karyawannya pasti pait deh.”

“Apa hubungannya Linux sama kesejahteraan?”

“Ya.. artinya pelit perusahaannya. Dia kan perusahaan consumer goods. Sistem IT itu penting banget lah buat bisnisnya. Kalau untuk yang penting aja dia gak mau keluarin modal, apalagi buat kesejahteraan karyawan cuy. Walaupun gue ngerti Linux, tapi gue mah ogah kerja di perusahaan kaya gitu.”

Dan 3 orang lainnya mengiyakan argumen rekan saya itu.

Dulu saya sering berkutat di seputar komunitas Linux. Tapi saya baru tahu kalau ada persepsi seperti ini untuk perusahaan yang sepenuhnya memilih menggunakan GNU/Linux dan OpenSource ataupun Free Software. Apa ini umum ya di luar komunitas pengguna Linux?