Year: 2016

Koneksi Ubuntu Server ke Wifi Hotspot dengan WPA Key

Sudah lama gak maenan dengan Ubuntu server. Ada komputer lama yang nganggur jadi mau eksperimen dijadiin server. Entah karena apa, tampilan dekstopnya error, jadi masuk ke konsol dengan Ctrl+F2.

Lalu saya bingung, gimana caranya koneksi ke WiFi di rumah dengan command line. Dulu jaman di kampus pernah sih, dengan iwlist + iwconfig. Tapi itu karena wifi hotspotnya gak berpassword. Dan ternyata iwconfig gak support koneksi ke hotspot dengan WPA Key (yang sudah jadi standar dimana-mana).

Ternyata caranya simpel saja, dikutip dari sini:

Edit file /etc/network/interfaces, isinya:

auto wlan0
iface wlan0 inet dhcp
wpa-ssid <nama hotspot wifi Anda>
wpa-psk <password wifi Anda>

*kalau nama hotspot anda ada spasi, gunakan tanda petik, misal: “Wifi Pangeran Cinta”

Setelah itu jalankan perintah untuk merestart wireless lan Anda:

sudo ifdown wlan0 && sudo ifup -v wlan0

Setelah itu coba lookup DNS:

nslookup google.com

Harusnya hasilnya kurang lebih begini:

Server:        8.8.8.8
Address:    8.8.8.8#53

Non-authoritative answer:
Name:    google.com
Address: 74.125.200.139
Name:    google.com
Address: 74.125.200.101
Name:    google.com
Address: 74.125.200.100
Name:    google.com
Address: 74.125.200.102
Name:    google.com
Address: 74.125.200.113
Name:    google.com
Address: 74.125.200.138

Selamat mencoba.

Dalam Blogging, Kuantitas Lebih Penting daripada Kualitas

Saya lupa kalimat di atas ditulis oleh blogger siapa. Yang jelas saya baca di blog salah satu seleb blog Indonesia circa 2007-an. Pernyataan ini bisa jadi kontroversial, karena “blogger sejati” biasanya mengklaim isi konten itulah yang paling penting, itu menunjukkan kualitas (atau jatidiri) penulisnya. Jumlah trafik itu gak penting.

Menurut saya bisa iya bisa enggak. Dewasa ini makin banyak yang “ngeblog” memang tujuannya cari duit. Kalau istilah teman saya dulu MfA (Made for Ads).

Kalau blog tujuannya sudah seperti ini, tentunya jumlah trafik kunjungan website sangat pengaruh (ini otomatis mempengaruhi ranking Alexa). Selain itu sejak PageRank tidak lagi diperbaharui, sekarang acuannya Domain Authority dan Page Authority (DA/PA).

Percaya gak percaya, untuk menaikkan trafik, kuantitas memang ngaruh banget sama trafik. Kualitas sih gak gitu-gitu amat. Contohnya blog saya ini. Begitu saya rajin ngeblog (nulis random aja) tiap hari, trafik (plus ranking Alexa) nya naik. Tapi kalau ditinggal lama (seperti saya lakukan beberapa bulan terakhir), ranking Alexanya turun. Walaupun kadang ada masa-masa tiba-tiba trafik naik signifikan beberapa hari. Biasanya karena beberapa konten lama saya mendadak banyak yang cari di Google.

Jadi, rajin-rajinlah menulis, tentang apapun. (Kalau gak gitu peduli dengan personal branding sih ya, kalau peduli sih tulisannya harus agak di-“setting-setting” sedikit). 😀

Orang-Orang Makin Sadis di Internet Walaupun dengan Identitas Asli

[Sumber: imgur.com]

Ini meme yang paling pas menggambarkan situasi bagaimana orang-orang berkomentar di internet sekarang.

Dulu orang-orang dengan identitas online (pseudonim) saja yang berkomentar sadis di internet. Maksud saya di sini komentar yang mem-bully orang lain, ujaran kebencian SARA, ataupun pernyataan jahat (misal: ngaku pengen membunuh orang lain). Kini orang-orang dengan identitas asli (di Facebook, Path, Twitter, Linkedin, dll) gampang saja berkomentar sadis di internet. Sebagian bahkan bangga.

Walaupun saya pernah baca yang terjadi di internet itu hanya mewakili tak sampai 5% yang ada di dunia nyata, tapi 5% dari 100 juta orang itu juga banyak sih.

Minor Redesign LABANA.id

Belakangan saya lebih banyak menulis di LABANA.id ketimbang di blog ini. Sudah lama memang saya kepingin memisahkan tulisan yang memang personal dengan tulisan yang rada serius. Setahun lalu, proyek eksperimen itu dimulai. Sempat berhenti, tahun ini eksperimennya berlanjut kembali. Belum tahu sampai kapan.

Dalam beberapa minggu saya bolak – balik mengubah desain blog LABANA ini (sambil tetap menulis tentunya). Tujuan akhir desain blog ini cuma 3:

  • Agar membaca blog ini (UI/UX-nya) nyaman, tidak terganggu elemen-elemen yang tidak penting.
  • Desainnya gak jelek-jelek amat.
  • Berlaku di desktop maupun di ponsel (kalau bisa tablet juga).

Hasilnya sementara ini seperti ini:

Halaman depan

Halaman detail artikel

Beberapa waktu ke depan, seiring bertambahnya konten, desain ini kemungkinan besar akan mengalami perubahan pula. Jangan kaget ya.

Oh iya, kalau ada yang sering baca tulisan saya yang rada-rada serius di sini dan masih kepengen baca tulisan lainnya, silahkan kunjungi LABANA aja.

Ini beberapa contoh tulisan saya di LABANA yang mungkin bisa dibilang rada-rada serius itu:

Selamat membaca.

Andrew Darwis Menanggapi Situasi Dunia Startup Indonesia Belakangan ini

Satu hal yang harus diingat, startup itu bukan “overnight success”, butuh pengorbanan waktu dan passion terhadap product tersebut.

Banyak startup yang baru dibuat (hanya bermodalkan) business plan, (lalu) “digoreng” -jual ke investor, jual lagi ke investor lebih besar, again… and again. It works and some startup doing it. Tapi gak semua bisa beruntung mendapatkan investor. Akhirnya startup yang tidak beruntung dan gagal harus gulung tikar. Dan (ini akhirnya) membuat kepercayaan terhadap industri startup kurang bagus.

~Andrew Darwis (founder Kaskus) menanggapi situasi startup di Indonesia belakangan ini.

Sumber: Techinasia

Nikola Tesla, Thomas Alva Edison dan Linus Torvalds

Mungkin sebagian dari kalian sudah familiar dengan cerita klasik Nikola vs Thomas Edison? Singkatnya banyak yang bilang penemuan-penemuan yang “diklaim” ciptaan Edison itu sebenarnya adalah hasil karya Tesla.

Larry Page (pendiri Google) sangat terinspirasi oleh cerita hidup Tesla. Ia sampai menangis ketika selesai membaca buku kisah hidupnya. Tesla adalah seorang penemu sejati. Tapi karena terlalu fokus pada teknologi, akhirnya “hanya dimanfaatkan” oleh Edison. Edison yang membuat temuan-temuan Tesla menjadi bisnis raksasa. Sementara itu Tesla akhirnya harus meninggal dunia dalam kondisi melarat. Konon itulah sebabnya Larry Page selalu berusaha memastikan Google (sekarang Alphabet) tetap besar sebagai bisnis sehingga Ia dan Sergey Brin bisa terus berinovasi dengan teknologi.

Lalu bagaimana dengan Linus Torvalds? Saya pribadi (tadinya) menyamakan dia seperti Tesla (minus melarat). Dia menciptakan sistem operasi Linux, yang digunakan di ratusan juta mesin-mesin server (termasuk yang digunakan Google, Yahoo, Facebook, dll), yang diberikan secara cuma-cuma. Tapi dalam sebuah acara wawancara TED Talks, Torvalds justru menyatakan (kurang lebih) “yang menemukan memang Tesla, tapi yang mengubah dunia ya Edison.” Dan dia menyatakan bahwa dirinya pada dasarnya lebih condong ke Edison. Mengejutkan buat saya.

Simak videonya di sini.

Tapi walau begitu Torvalds tetap pribadi yang sederhana. Satu lagi yang membuat saya kagum dengan kepribadian Torvalds, dia ternyata seorang “geek” abis. Selalu bekerja sendirian. Mengakui bahwa dia bukan “people person”, tidak nyaman berinteraksi dengan orang-orang banyak, apalagi tampil di depan publik. Dan yang paling mengejutkan dia mengakui bahwa dirinya bukan seorang visioner.

Banyak orang-orang yang melihat ke langit di atas sana, dan berpikir apa yang bisa dicapai di masa depan di angkasa sana, orang-orang visioner. Tapi Linus adalah orang yang melihat jalanan yang sedang diinjaknya, melihat jika ada lubang di jalan, apa yang bisa dia perbaiki agar jalan itu bisa mulus kembali dan bisa nyaman digunakan orang banyak.

Dunia ini memang semakin cepat bergerak “maju” karena banyak orang-orang visioner yang berpikiran jauh ke masa depan. Tapi dunia ini juga perlu orang seperti Torvalds, yang menyelesaikan masalah yang nyata yang kita hadapi saat ini, di sekitar kita.

Anda mau jadi seperti siapa? Tesla, Edison, Larry atau Torvalds?

Algoritma Go-Jek yang Terbalik

Kemarin malam saya berada di Ratu Plaza, daerah Senayan. Saya hendak ke suatu tempat di daerah Cidodol. Karena males kena macet, saya pesan lah Go-Jek. Setelah pesan saya tidak perhatikan lagi aplikasinya. Sibuk mengunyah makanan.

Tak lama saya mendapatkan panggilan telpon. Ternyata pengemudi Go-Jek. Saya belum cek lagi aplikasinya. Dia bilang paling lama 10 menit baru nyampe. Saya menduga dia di sekitar Senayan, tapi terjebak macet. Ya sudahlah.

5 menit kemudian, baru saya cek aplikasinya. Posisi si pengemudi di daerah Cidodol. Lah?? Itu tujuan saya toh. Saya mau batalkan kok kasihan juga dia sudah datang jauh-jauh.

Lebih dari 15 menit, pengemudi Go-Jek nya baru sampai. Dan dia mengkonfirmasi, benar dia tadi Cidodol. Duh.

Saya enggak ngerti logika aplikasi di Go-Jek ini. Seringkali saya melihat di depan mata saya paling tidak ada 10 orang pengemudi Go-Jek yang sibuk memperhatikan ponselnya, siap menunggu orderan. Tetapi ketika saya memesan jasa Go-Jek, yang mendapatkan pesanan malah berjarak 2 km dari lokasi saya.

Inilah sebabnya terkadang saya terpaksa membatalkan pesanan saya, dan coba pesan lagi. Apesnya, jika membatalkan pesanan sampai 5x dalam sehari, akun kita akan dibekukan sementara. Dan ini tanpa pemberitahuan. Saya sendiri pernah mengalami. Karena komplain via telponlah saya baru tahu penyebabnya.

Gak ngerti deh gimana sebenarnya algoritma yang digunakan Go-Jek. Semoga pengemudi UberMotor cepat bertambah banyak. Saya (dan mungkin banyak orang lainnya) butuh alternatif.

*Kenapa gak pakai GrabBike? Karena GrabBike harus dibayar tunai langsung. Saya malas berhadapan dengan “modus tidak ada kembalian”. Sekali dua kali tidak apa-apa, kalau berpuluh kali ya nyesek juga.

Saling Berbagi Perusahaan Teknologi di Indonesia

[Foto: adders | flickr.com]

Saya pernah tahu ada acara-acara sharing session tentang topik spesifik yang disponsori oleh perusahan “teknologi” di Indonesia. Misal topik tentang NodeJS, PHP atau Python misalnya. Tetapi saya jarang mendengar sharing session tentang bagaimana teknologi di perusahaan itu sendiri. Baik tentang arsitektur teknologinya, cara mengatur orang dan fungsi-fungsinya, atau perangkat lunak/keras apa saja yang dipakai.

Kalau di luar negri ini seperti sudah jadi kegiatan rutin. Di YouTube banyak video-videonya. Jaman saya masih senang otak-atik dunia pemrograman, saya sering lihat video-video ini.

Blibli.com salah satu contoh yang baik. Minggu lalu mereka mengadakan acara sharing session. “Buka-bukaan” tentang teknologi yang digunakan mereka. Silakan baca detailnya di LABANA.ID.

Dengan acara seperti ini, efeknya bagus juga bagi para pelaku industri ini. Selain mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak, paling tidak mereka bisa mendapatkan informasi untuk peluang karir berikutnya. 😀

Nilai Akuisisi Startup Media di Indonesia

Rangkuman akuisisi yang saya ingat:

  • Detikcom (berdiri tahun 1999) dulu dibeli Trans Corp dengan harga sekitar Rp 500 M.
  • Kaskus (berdiri tahun 1999) gosipnya dibeli GDP (Djarum Group) dengan harga sekitar Rp 500 – 600 M.
  • KapanLagi (berdiri tahun 2003), valuasinya (gosip juga) sekitar Rp 1 T ketika sebagian sahamnya dibeli MediaCorp.
  • Hipwee (berdiri tahun 2014), nilai akuisisinya oleh Migmee adalah Rp 5,4 M. Situs ini sering disebut-sebut sebagai BuzzFeed nya Indonesia.

Semua contoh di atas adalah startup yang kriterianya didirikan di Indonesia, dan target pasarnya juga Indonesia. Hanya saja mereka masuk dalam kategori industri media online. Khusus 3 teratas, mereka didirikan di sekitar waktu tahun 1999 – 2003, sekitar 13 tahun lalu.

Sekarang lihat startup dengan dengan kriteria yang sama, tetapi bukan media online, alias mereka yang disebut “startup teknologi”.

Tokopedia (didirikan tahun 2009, 7 tahun lalu) – Pertama didirikan digelontorin dana Rp 2,4 M untuk 80% saham. Artinya valuasinya waktu baru berdiri sudah Rp 3 M. Sekarang? Dengan suntikan dana baru hampir Rp 2T, tentunya valuasinya sudah di angka triliunan Rupiah.

Go-Jek (berdiri tahun 2010, tapi baru aktif kembali sekitar tahun 2012 akhir) – Dikabarkan mendapatkan investasi ratusan juta dollar oleh Bloomberg.

Kesimpulannya, startup media di Indonesia memang angkanya gak bombastis kayaknya ya.

Hati-Hati ROM “Palsu” Xiaomi Redmi Note 3

Sewaktu saya membeli Xiaomi Redmi Note 3, importir besar seperti Era Jaya belum menjual produk ini. Jadi yang saya beli di pusat perbelanjaan itu barang palsu? Ya.., enggak juga. Kalau kata orang-orang ini masih “versi distributor”, bukan yang garansi resmi dari Xiaomi. Walaupun kalau kita nanya di toko-toko yang menjual produk dari “distributor” ini, pasti dibilang “Ini resmi kok. Ada service center resminya.”

Waktu itu saya beli Redmi Note 3 yang RAM 2GB. Prosesornya Mediatek ya, bukan yang Qualcomm. Karena ternyata ada 2 jenis. Beda prosesor.

Salah satu yang membuat saya agak curiga dengan ponsel ini adalah beberapa aplikasinya tidak bisa berjalan. Misalnya fitur Themes, fitur Fonts, dll. Pokoknya yang butuh koneksi dengan Xiaomi lah. Selain itu cek updatenya juga gagal.

Kalau tidak salah versi ROM yang saya pakai waktu itu (kalau tidak salah) 7.2.16. Saya lihat di webnya MIUI, versi terbaru ROM nya adalah 7.2.30. Saya bingung kenapa saya coba update dengan aplikasi bawaannya Updater, kok gagal?

Akhirnya saya download saya file ROM-nya. Lumayan gede, sekitar 800-an MB. Lalu saya coba install dari menu Updater dengan menggunakan “Choose Package”. Tapi ROM nya tidak dikenali, gagal juga. Selalu keluar error “Can’t verify update“. Mencurigakan.

Baru setelah itu saya baca-baca di forum MIUI, ternyata ada beberapa laporan yang bilang kalau ROM versi 7.2.16 itu masih versi abal-abal dari distributor, bukan resmi dari Xiaomi. Ooo.., sepertinya ini yang membuat banyak fitur yang saya coba gunakan gagal.

Akhirnya saya instal ROM versi resmi dari MIUI nya. Caranya agak ribet sih. Apalagi saya tidak memiliki komputer dengan sistem operasi minimal Windows 7. Kalau pakai Mac OS? Hmmm… Lupain deh.

Menggunakan laptop seorang teman, akhirnya saya berhasil melakukan “flash” ulang ROM Redmi Note 3 saya dengan versi resmi dari Xiaomi. Versinya 7.2.3.0.

Tampaknya memang ROM sebelumnya memang abal-abal. Setelah menggunakan ROM resmi ini, saya merasa keseluruhan aplikasi dan fitur di ponsel saya menjadi lebih “smooth”. Entahlah, kalau cuma persepsi aja ya. Yang jelas fitur Theme, Font, Updater, dll di sini sudah berjalan normal. Apalagi belakangan saya pun bisa upgrade lagi ke ROM terbaru dari Xiaomi, versi 7.2.5.0 secara OTA (Over the Air).

Kalian gimana? Pake Redmi Note 3 yang versi ROM abal-abal, atau sudah yang resmi dari MIUI?

Yahoo Once Upon a Time

Nemu poster ini dari tumpukan arsip berkas. Ini kalau tidak salah dari Yahoo OpenHack di Jakarta tahun 2009.

Berapa banyak dari services ini yang masih hidup ya?

image

Startup Kecoa dari Indonesia

[Foto: stevebethell | flickr.com]

Kebanyakan startup lokal (yang baru berdiri) yang saya baca atau temui masih versi idealis. Jadi startupnya dibangun “mungkin” setelah banyak menelan cerita di media yang kurang lebih mengatakan: “Startup X itu awalnya cuma produk iseng. Terus dikembangkan aja pokoknya. Marketnya belum ada siih bukan masalah, justru dia yang bikin marketnya. Urusan ntar duitnya dari mana, belakangan. Yang penting growth-nya bagus. Growth hacking, bro!”

Seringkali mereka lupa, startup itu (seharusnya) adalah perusahaan. Bukan proyek akhir pekan, iseng-iseng berhadiah, atau sekadar mengisi waktu luang -kaya blog saya ini.

Tapi di Echelon 2016 kemarin, saya ketemu 2 startup yang berbeda. Konsepnya jelas, tim pendirinya juga kompeten, dan ini yang paling menarik, bisnisnya memang sudah jalan dan memiliki penghasilan. Ini kalau kata saya startup dengan paket lengkap. Mereka adalah NATAProperty, dan InsanMedika. (InsanMedika bisnis offline nya sudah jalan lama sih sebenarnya).

Di Sillicon Valley kan fokus investor sudah mulai bergeser dari “startup unicorn” ke “startup kecoa”. Startup kecoa itu artinya: realistis, tidak perlu besar-besar banget growthnya, tapi sustain terus dan bisa bertahan melewati berbagai situasi ekonomi. Kaya kecoa beneran, habis perang nuklir pun kemungkinan masih bisa hidup. Bahkan kepalanya dipotong aja masih bisa hidup lama. Dan kedua startup tadi masuk kriteria startup kecoa ini menurut saya.

Kalian mau jadi yang mana? Kecoa atau Unicorn?