Beberapa waktu lalu Abang Edwin menulis di blognya perihal pengunduran dirinya dari jabatannya sebagai CEO Ansvia (PT yang menaungi MindTalk.com / Digaku). Saya melihatnya di Linkedin. Kami sempat sedikit “berdiskusi” juga di Linkedin soal MT ini.

*mungkin ada yang masih ingat, di tahun 2011 saya pernah mengulas MindTalk.com saat awal-awal baru diluncurkan. Secuplik sejarahnya ada di sana. Mungkin bagus juga baca dulu detailnya, lalu kembali ke sini.

Slack

Seperti saya sebutkan di review saya dulu, konsep awal MT/Digaku sebenarnya cenderung lebih mirip MIRC ketimbang Facebook Group. Tapi dengan berbagai pertimbangan, mereka akhirnya memutuskan untuk berubah menjadi social media interest-based. Kalau menurut saya sih pada dasarnya ini adalah Kaskus versi modern. 

Nah keputusan untuk berubah dari MIRC itu bisa jadi disayangkan. Kalau saja MT/Digaku tetap konsisten dengan konsep awalnya tapi dilengkapi fitur real-time (jadi benar-benar seperti MIRC), bukan tidak mungkin MT/Digaku bisa sukses menjadi seperti Slack.

Memang, faktor Slack menjadi sukses bukan soal konsep saja sih. Pendiri Slack itu adalah mantan pendiri Flickr.com, CTO nya juga adalah mantan CTO nya Flickr. Jadi pengalaman, akses, jaringan dan lokasi punya pengaruh besar.

Social Media

Ketika MT pun memutuskan untuk menjadi social media, saya sendiri cukup bingung dengan arahnya. Karena sebagai socmed, (sorry to say) kurang jelas keunikannya dibanding pemain raksasa yang sudah berkuasa (Twitter, Facebook). Saya sulit melihat alasan kenapa teman-teman saya mau bergabung ke MT selain karena penasaran seperti apa isinya. Sepertinya MT pun menyadari hal ini. Situsnya sudah pernah beberapa kali di-revamp. Tetapi sepertinya belum berhasil.

Abang Edwin pun akhirnya mengakui hal itu. Itu sebabnya, secara bisnis fokus PT Ansvia akhirnya beralih dari MT sebagai socmed, menuju Digaku (platform di belakang MT) sebagai solusi ESN (Enterprise Social Network) dan platform digital campaign bagi client.

Catatan: Pulsk.com (juga buatan lokal) muncul di sekitar rentang waktu yang sama dengan MT. Tetapi sepertinya Pulsk berhasil menempatkan posisinya di mata user. Sehingga pertumbuhan trafiknya sangat pesat dan masih masuk top 100 Alexa untuk Indonesia.

ESN untuk Kolaborasi

Sekarang ini memang banyak korporasi yang berusaha menggunakan konsep “social network” ala Facebook di tempat kerja, tujuannya untuk menunjang kolaborasi antar karyawan, grup, divisi, dll. ESN ini adalah salah satu yang dimaksud.

Jika korporasi tersebut sudah mengadopsi Microsoft sebagai platform utama mereka, kemungkinan besar mereka sudah menggunakan SharePoint untuk melakukan hal ini. Apalagi dengan Office 365, semua sudah terintegrasi menjadi satu (Email, Cloud Storage, Calendar, Project Management, Office Online, dll, termasuk SharePoint).

Khusus SharePoint, jika korporasi tersebut berkolaborasi dengan tim development yang tepat, platform ini bisa berfungsi layaknya Facebook tapi plus sekian banyak keunggulan integrasi produk Microsoft tadi.

Contohnya (ini pengalaman pribadi):

Ketika berdiskusi dalam sebuah grup di SharePoint, kita bisa membagikan link ke sebuah dokumen MS Word. Dokumen ini sebenarnya ada di OneDrive. Jadi kita bisa edit langsung dari Windows Explorer, rekan kita bisa edit langsung dari Office 365, plus.. kita bisa batasi tidak semua orang di dalam grup itu bisa edit.

Administrasinya pun bisa dilakukan secara terpusat oleh admin IT di kantor via Active Directory. Butuh scheduler/cron? Ada PowerShell script.

Integrasi dengan tool Sales Force? Bisa. Integrasi dengan BI Reporting? Bisa.. Integrasi dengan Workflow Approval? Bisa..

Ini belum lagi ditambah integrasinya dengan Skype for Business (dulu bernama Lync).

Karena itulah saya skeptis ketika Digaku mulai fokus menjadi penyedia jasa solusi ESN bagi korporasi. Karena (setahu saya) Digaku tidak bisa mensupport integrasi langsung ke dalam platform Microsoft tadi. Sementara big enterprise itu kebanyakan menggunakan platform Microsoft.

Nah kemudahan integrasi itu yang saya ragu akan diberikan oleh Digaku. Walaupun dari yang diutarakan Abang Edwin, ada juga salah satu client-nya yang lebih memilih menggunakan Digaku ketimbang SharePoint.

ESN untuk Employee Engagement

Tidak semua korporasi mungkin setuju penggunaan ESN itu untuk tujuan kolaborasi demi peningkatan efisiensi kerja. Jika proyek ESN di korporasi ini diinisiasi oleh tim HR dan/atau Corporate Affairs, kemungkinan besar fokus utamanya adalah: Mengingkatkan Internal Employee Engagement. Jadi fitur-fitur integrasi seabrek-abrek tadi tidaklah penting. Kemudahan komunikasi dan sosialisasi lah yang jadi kunci utama.

Kalau Engagement dan Sosialiasi adalah tujuan utama, berarti Digaku sudah tepat dong? Mungkin iya. Karena kenyataannya Ansvia sudah berhasil mendapatkan banyak client yang menggunakan Digaku untuk ESN.

Mungkin juga enggak.

Ketika berbicara social network, hampir semua orang pasti membayangkan Facebook di kepalanya. Ketika diperkenalkan dengan ESN baru, biasanya karyawan akan resisten, karena standar kenyamanan dan ke-familiar-an mereka adalah Facebook. Jadi baik Digaku maupun SharePoint masih di luar ekspektasi mereka. (Setidaknya untuk SharePoint pengalaman saya begitu).

Jika saja ada ESN yang bisa diatur ala korporasi (centralize, integrated), tapi UI/UX nya seperti Facebook, tentunya seperti mimpi jadi kenyataan kan? Administrator IT bisa tenang, tujuan tim HR & Corporate Affairs tercapai, dan ekspektasi pengguna terpenuhi.

Dan mimpi itu memang sudah jadi kenyataan. Facebook sudah meluncurkan Facebook at Work. Ini adalah Enterprise Social Network yang diluncurkan oleh “juara”-nya social network. UI/UX nya persis sama dengan Facebook yang kita gunakan sehari-hari. Biayanya? Untuk saat ini masih gratis.

Menurut saya, dengan adanya Facebook at Work, tim HR & Corporate Affairs akan lebih condong memilih produk ini untuk ESN di internal mereka ketimbang Digaku.

Inilah yang membuat saya ragu dengan arah Ansvia saat ini.

Jadi?

Kalau untuk fokus kembali menjadi socmed Ansvia sudah susah melawan para raksasa, ke ESN pun bertemu raksasa yang sama lagi, jadi kemana sebaiknya Ansvia mengarahkan dirinya?

Nah ini pertanyaan dengan jawaban 1 juta dollar. Saya rasa sih manajemen Ansvia (atau GDP) sudah memiliki roadmap untuk ini. Kita tunggu saja.

 

Disclaimer: Saya pernah memiliki hubungan kerja dengan MPI (grup yang menaungi MT/Digaku).

4 responses to “Tantangan Besar bagi MindTalk / Digaku”

  1. Affan Avatar
    Affan

    Memang susah kalau melawan yg namanya “al wayah”, alias “durung wayah-e”

    Teknologi berkembang itu bukan dia jadi hal yang betul-betul baru, tapi seringkali barang lama yang muncul lagi:
    – MIRC muncul lagi jadi Slack
    – install router pakai Linux & Quagga muncul lagi dalam bentuk virtual router, SDN, NFV
    – Dulu ada Newton, dulu ada Palm OS yg touchscreen, sekarang semua smartphone itu touchscreen

  2. Okto Silaban Avatar
    Okto Silaban

    “al wayah” hahaha..

  3. Abang Edwin SA Avatar

    “Karena itulah saya skeptis ketika Digaku mulai fokus menjadi penyedia jasa solusi ESN bagi korporasi. Karena (setahu saya) Digaku tidak bisa mensupport integrasi langsung ke dalam platform Microsoft tadi. Sementara big enterprise itu kebanyakan menggunakan platform Microsoft.”
    –> Coba tanyakan langsung ke Robin deh…..pertanyaan ini juga pernah saya layangkan ke Robin dan jawabnya tegas……BISA! Robin ini yg buat Digaku tentunya dia yang paling berkompetensi menjawab ini

    Utk masalah Sharepoint……Sharepoint ini seingat saya dijualnya per account….jadi harganya X dollar dikalikan dengan jumlah karyawan. Concern yg datang dr pihak perusahaan (ini saya ambil dari jawaban mereka), kalau misalkan karyawan mereka ada 3000 orang, artinya 3000 x X dollar….Digaku gimana? Digaku dijualnya tidak per account…..tapi per kuota, dengan harga (lagi2 jawaban klien) hitungannya jauh lebih murah. Betul memang ada yang tidak mau menggunakan Digaku, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali, karena pertimbangan pemilihan produk itu banyak.

    “Menurut saya, dengan adanya Facebook at Work, tim HR & Corporate Affairs akan lebih condong memilih produk ini untuk ESN di internal mereka ketimbang Digaku.” –> Ya itu menurut mas sih…kenyataannya concern menempatkan database perusahaan di server orang (baca: Facebook) sangat tinggi…Balik lagi ini saya bicara berdasarkan concern client juga.

    Coba deh ngobrol sama Antonny mas, jadi bisa lebih clear mendapatkan gambarannya…..:-)

  4. Okto Silaban Avatar
    Okto Silaban

    Tentang bisa atau tidaknya integrasi, saya tentunya tahu secara teknis tentu saja BISA. Cuma apakah integrasinya senyaman dan semudah buatan Microsoft sendiri? Saya lebih yakin sih integrasi sesama produk MS (harusnya) lebih nyaman dan mudah ya. Jika MS merubah sesuatu di core-nya, seberapa cepat Digaku bisa adaptasi? (dibandingkan dengan produk MS sendiri).

    Tentang harga, betul memang, untuk O365 harus bayar per user. Tapi kalau company itu memang sudah pakai O365 utk email, onedrive, dll, nambah sharepoint itu bisa jadi paket harganya. Gak signifikan sih perbedaanya setahu saya. (Again komparasi ini untuk company yang memang sudah implementasi Office di segala lininya). Mereka yang gak pakai MS-Based tentunya gak berlaku asumsi ini.

    Tentang concern naruh database di perusahaan orang, kalau mereka sudah pakai O 365, ya sama aja sih. Itu sudah naruh data di server orang. Ujung2nya korporasi besar itu akan ke cloud (server orang) juga. Trendnya semua ke arah sana.

    Kalau kebetulan saya ketemu Antonny, Danny, atau Robin, mungkin bakal saya tanya. Tapi kalau enggak, ya saya gak seniat itu sih nanya2 mereka. Hehe, ini kan memang pendapat dan analisa pribadi.

    Tentunya semua tulisan ini adalah “menurut saya”, kan memang itu tujuan blog pribadi. Hehe. Kecuali saya media seperti DailySocial atau Techinasia, maka saya wajib minta “quote” dari mereka dan clear things up. Sama aja kaya orang yang nulis pendapat pribadinya tentang iPhone SE di blog pribadi atau Twitter. Tentunya gak pakai konfirmasi ke Apple atau Tim Cook.

    Please don’t get me wrong. Inti dari tulisan ini bukan menuduh Ansvia gagal, sukses atau malah salah arah. Intinya adalah “Kok arahnya ke situ sih? Kan begini..begitu.. Tapi ya, kita tunggu saja”.

    Cheers, Mas. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *