Tag: google

Nikola Tesla, Thomas Alva Edison dan Linus Torvalds

Mungkin sebagian dari kalian sudah familiar dengan cerita klasik Nikola vs Thomas Edison? Singkatnya banyak yang bilang penemuan-penemuan yang “diklaim” ciptaan Edison itu sebenarnya adalah hasil karya Tesla.

Larry Page (pendiri Google) sangat terinspirasi oleh cerita hidup Tesla. Ia sampai menangis ketika selesai membaca buku kisah hidupnya. Tesla adalah seorang penemu sejati. Tapi karena terlalu fokus pada teknologi, akhirnya “hanya dimanfaatkan” oleh Edison. Edison yang membuat temuan-temuan Tesla menjadi bisnis raksasa. Sementara itu Tesla akhirnya harus meninggal dunia dalam kondisi melarat. Konon itulah sebabnya Larry Page selalu berusaha memastikan Google (sekarang Alphabet) tetap besar sebagai bisnis sehingga Ia dan Sergey Brin bisa terus berinovasi dengan teknologi.

Lalu bagaimana dengan Linus Torvalds? Saya pribadi (tadinya) menyamakan dia seperti Tesla (minus melarat). Dia menciptakan sistem operasi Linux, yang digunakan di ratusan juta mesin-mesin server (termasuk yang digunakan Google, Yahoo, Facebook, dll), yang diberikan secara cuma-cuma. Tapi dalam sebuah acara wawancara TED Talks, Torvalds justru menyatakan (kurang lebih) “yang menemukan memang Tesla, tapi yang mengubah dunia ya Edison.” Dan dia menyatakan bahwa dirinya pada dasarnya lebih condong ke Edison. Mengejutkan buat saya.

Simak videonya di sini.

Tapi walau begitu Torvalds tetap pribadi yang sederhana. Satu lagi yang membuat saya kagum dengan kepribadian Torvalds, dia ternyata seorang “geek” abis. Selalu bekerja sendirian. Mengakui bahwa dia bukan “people person”, tidak nyaman berinteraksi dengan orang-orang banyak, apalagi tampil di depan publik. Dan yang paling mengejutkan dia mengakui bahwa dirinya bukan seorang visioner.

Banyak orang-orang yang melihat ke langit di atas sana, dan berpikir apa yang bisa dicapai di masa depan di angkasa sana, orang-orang visioner. Tapi Linus adalah orang yang melihat jalanan yang sedang diinjaknya, melihat jika ada lubang di jalan, apa yang bisa dia perbaiki agar jalan itu bisa mulus kembali dan bisa nyaman digunakan orang banyak.

Dunia ini memang semakin cepat bergerak “maju” karena banyak orang-orang visioner yang berpikiran jauh ke masa depan. Tapi dunia ini juga perlu orang seperti Torvalds, yang menyelesaikan masalah yang nyata yang kita hadapi saat ini, di sekitar kita.

Anda mau jadi seperti siapa? Tesla, Edison, Larry atau Torvalds?

Google Keep – Aplikasi Pencatat Sederhana Terbaik di Android

Selama beberapa tahun, saya menyimpan catatan-catatan pendek di ponsel Android saya di dalam sebuah file text. Setiap ada yang mau dicatat, diubah atau dilihat, saya membuka file itu dengan aplikasi teks editor. Ketika saya berganti ponsel, atau me-reset ponsel saya, file text ini saya pindahkan terlebih dahulu ke komputer, lalu saya transfer balik. Terus begitu.

Saya tahu ada aplikasi Evernote dan lain-lainnya yang bisa digunakan untuk fungsi ini. Canggih-canggih pula. Auto-sync ke cloud, bisa dibuka di mana saja. Sayangnya justru dari beberapa aplikasi yang saya coba, kebanyakan malah overkill. Kebanyakan fitur.

Sampai akhirnya suatu hari saya upgrade sistem operasi di Nexus 4 saya. Setelah restart, muncul aplikasi baru di Android saya. Google Keep. Saya buka, dalam hitungan detik saya langsung bisa menebak ini adalah aplikasi pencatat. Saya coba sedikit. Lalu saya tinggalkan. Entah mengapa saya masih tidak percaya dengan penyimpanan cloud, auto-sync, bla..bla..bla nya.

Sampai akhirnya saya pernah eksperimen mengganti ROM Nexus 4 saya ke MIUI. Dan apesnya, saya lupa membackup file catatan saya tadi itu. Hilanglah sudah. Di desktop saya backup terakhir adalah 3 bulan sebelumnya.

Dan sejak saat itu saya tobat, dan menggunakan Google Keep. Dan setelah rutin menggunakan saya baru sadar begonya saya, kenapa gak dari dulu pakai aplikasi ini. Karena fungsinya persis seperti yang saya butuhkan.

[Sumber: Google Play]

Di Google Keep hal-hal yang membuat saya betah:

  • Antarmuka nya sederhana dan gampang dipahami. Mau dipakai dengan sederhana (cuma nyatet teks), bisa banget gak keganggu. Tapi mau dipake ribet (ganti background warna, set reminder, kasih label, title, dll) juga bisa.
  • Karena dari Google, jadi gak usah khawatir lah dengan potensi server down, data hilang, dll.
  • Aplikasinya ringan dan ringkas.
  • Ada versi webnya: keep.google.com. Dan di web pun bisa digunakan seperti di aplikasinya langsung.
  • Bisa di-share (saya menggunakan akun Google yang berbeda untuk Android dan GMail)

Tips:

Saya sering menggunakan Google Keep ini untuk copy-paste teks dari ponsel Android saya ke desktop dan sebaliknya. Gampang sekali, copy teks yang anda mau (entah itu URL, tulisan, dll), paste di Google Keep. Langsung tersedia deh di ponsel maupun di website (desktop).

Oh iya, tidak semua ponsel Android menyertakan Google Keep secara default. Kalau anda memerlukan aplikasi seperti ini, jangan lupa install dulu dari Play Store.

Yang Wajib Dilakukan Ketika Mengganti Alamat Email

[Foto: dskley | flickr.com]

Ada 2 media komunikasi jaman sekarang ini yang punya pengaruh besar ketika berganti. Setidaknya menurut saya, yaitu: Nomor Ponsel dan Alamat Email. Saya kebetulan baru melakukan yang terakhir ini.

Jadi apa saja yang perlu dilakukan ketika kita mengganti alamat email?

  1. Bikin email baru (pastinya ya). Untuk kasus saya, saya pakai GMail.
  2. Import semua isi inbox email lama ke email baru. Ini terlihat sederhana tapi sebenarnya agak rumit. Nanti saya ceritakan di bawah.
  3. Di email lama, jangan lupa nyalakan fitur forwarding message. Jadi setiap ada email baru yang masuk ke email lama, otomatis dikirimkan juga ke email baru kita. Caranya? Cari aja di bagian setting, terus googling sendiri ya. He..
  4. Di email lama nyalakan fitur Auto-Reply. Isinya? Intinya ngasih tahu kalau kita sudah ganti ke alamat email yang baru. Jadi jika suatu saat ada orang yang masih mengirimkan email ke alamat email yang lama, dia tahu alamat email kita sudah ganti.
  5. Update semua akun yang menggunakan alamat email lama kita. Beberapa prosesnya tidak semudah yang saya kira. Nanti saya ceritakan juga di bawah.

*Yang paling penting sih sebenarnya poin no 3 dan 4.

Lalu bagaimana jika ternyata alamat email kita yang lama sudah tidak bisa diakses ketika mau ganti ke alamat email yang baru? Ya apes sih. Mau gimana lagi. Berdoa yang banyak aja.

Import Email Lama ke Email Baru

Email saya yang lama sebenarnya di Google juga, cuma menggunakan custom domain. Dan email saya yang baru adalah email GMail generic. Tapi ternyata mengimpor email sesama Google ini tidak semudah yang saya duga. Ini beberapa opsinya:

  1. Download semua email lama saya via Outlook, Thunderbird, atau aplikasi mail clientnya. Terus upload lagi ke email baru. (Googling aja tutorialnya). Tapi ini gak mungkin buat saya. Gila, itu isi email berapa tahun. Besarnya udah belasan GB. Padahal internet saya cuma modal TelkomselFlash. Ok, skip.
  2. Di GMail saya yang baru, saya setup import POP Mail account dari akun email lama saya. Kelihatannya ini paling gampang. Toh sesama Google, pasti cepat harusnya. Kenyataanya? Enggak. Proses import nya berhenti di sekitar email saya tahun 2011. Entah kenapa. Sudah coba beberapa kali, masih gagal juga. Ok, skip.
  3. Kebetulan saya punya domain nganggur. Akhirnya domain ini saya pakai buat bikin email temporary di ZohoMail, pake custom domain (Free loh). Ternyata Zoho nyediain fitur mail migration. Nah cocok. Saya import deh email lama saya ke akun email temporary ini.
  4. Dari GMail (email baru saya), saya import lagi email di Zoho tadi via POP3. Anehnya, di sini gak ada masalah. Ok, done.

*poin no 3 ini butuh pengetahuan teknis. Anda harus setup nameserver, MX record, dll. Jadi silahkan googling aja untuk pastinya ya. (Iya.., saya males bikin tutorialnya).

Update Semua Akun dengan Email yang Baru

Yang kepikiran pertama kali, “Saya punya akun di mana saja ya?” Duh.. Banyak banget. Ok, saya urutkan dari mulai yang krusial, sampai ke seingatnya aja.

  1. Internet Banking. Nah.., untuk BCA gampang sekali. Untuk Bank Mandiri? Duhh.. *ngelus dada*. Butuh seminggu cuy. Nih detailnya.
  2. Twitter, Facebook, Path, Linkedin, Tumblr dkk (kalau ada), err.. apalagi ya? Oh iya Instagram (pas nulis ini baru inget), jarang pake sih.
  3. Go-Jek, Uber, Grab, Traveloka, AirAsia (all transportation)
  4. Credit Card! (ternyata ini kudu via telpon, beda “manajemen” dengan bank nya). Tapi cepet sih, sekitar 2 hari kalau gak salah.
  5. Akun di blog ini!
  6. Akun-akun teknis: Domain (saya pakai Name.com), Hosting (saya pakai 2 layanan berbeda), Cloud (Oh syit.., ini juga baru keingetan *brb*)
  7. Akun broker saham. Nah ini repot. Harus isi form, tanda tangan, kasih materai, lengkapi fotokopi KTP dan NPWP, lalu dikirim hardcopy-nya. Aselik, gak bisa online cuy.
  8. PayPal !
  9. DJP Pajak – e-filing. Sudah 3 tahun terakhir ini saya laporan SPT Pajak via online. Namanya DJP Online. Di bagian pengaturan profil ada 2 kolom email, “EMAIL DJPONLINE” dan “EMAIL” saja. Yang bisa diganti hanya “EMAIL DJPONLINE”. Saya gak tahu yang “EMAIL” itu buat apa, dan kenapa gak bisa diganti.
  10. Apple ID  (saya pakai Mac)
  11. Entah situs-situs apalagi yang pernah saya daftar. Biasanya baru inget dari email yang masuk. (IFTT, Feedly, AppAnnie, Wattpad, Medium, Financial Times, dsb).

Tips: Itulah gunanya mengaktifkan fitur forwarding dari email lama ke email baru. Jadi di email baru kita bisa tahu masih ada layanan-layanan yang dulu kita pernah daftar, tapi masih menggunakan email lama.

Jadi, sudah lebih siap untuk ganti alamat email?

Google Nexus 6 Turun Harga dan Nexus 5 Generasi Kedua

Berhubung Nexus 4 yang sudah saya gunakan 2 tahun lebih itu sepertinya baterainya drop, saya sedang mencari alternatif ponsel baru. Seperti pernah saya bahas dulu, saya sih pengennya tetap menggunakan Android keluaran Google, alias Nexus. Alasannya sederhana, karena ini satu-satunya seri Android yang pasti di-support 100% hardwarenya (dan harusnya paling optimal), selalu mendapat update OS paling pertama dan paling lama (bisa beberapa tahun), dan tidak penuh dengan aplikasi-aplikasi yang tidak penting -bawaan dari manufacturer nya.

Tapi, Nexus 6 belum resmi dijual di toko-toko di Indonesia. Walaupun saya pernah baca di salah satu situs ijin dari Kominfo sudah keluar untuk penjualan di Indonesia oleh beberapa distributor utama.

Beralihlah saya ke online. Di FJB Kaskus saya melihat ada beberapa orang yang jual. Harganya sekitar 8jt-an. Wow ! Mahal ya. Soalnya Nexus kan biasanya masuk ke kategori yang lumayan terjangkau (di bawah 5jt). Ya kalau lihat di toko online resminya Google sih harganya memang $649. Jadi kalau di rupiahkan harganya sekitar 8jt-an.

Lalu saya menemukan JakartaNotebook.com ternyata menjual Nexus 6. Ready stock. Harganya Rp 7.499.000, alias 7,5 juta. Nah ini lumayan miring harganya dibanding rata-rata. Mulai bimbang deh. Saya sudah hampir berangkat ke Central Park (letak tokonya JakartaNotebook), tetapi ketika cek lagi di websitenya, stocknya yang kemarin masih 3 biji, sore itu sudah habis. Dan harganya kembali ke 8jt. Gagal sudah.

*tadinya kepikiran buat beli aja, terus jual di FJB Kaskus 7,7jt. Mayanlah kan, cuan 200ribu. Hehe.

Tadi malam sewaktu mencari alternatif lain selain Nexus, saya kaget. Ternyata Google menurunkan harganya dari $649 menjadi $449. Wuooh, turun $200 cuy. Nah, untung kemarin saya gagal beli Nexus 6. Saya cek di FJB Kaskus, ada yang jual 7,7jt, baru, masih boks tertutup. Lah, jangan-jangan ini yang dibeli dari JakartaNotebook kemarin. Haha. Bakal susah tuh kejualnya.

Nah ini bikin saya kaget dengan Nexus 6. Spekulasi banyak beredar. Ada yang bilang Nexus 6 turun harga akibat banyak diprotes karena harganya yang masuk ke kelas premium. Ada yang bilang karena ukuran layar 6″ terlalu besar sehingga kurang sukses. Tapi ada juga rumor lain (yang saya juga baru tahu) yang mengatakan bahwa ini strategi Google, persiapan peluncuran Nexus 5 (2015).

Nah, betul. Nexus 5 (2015). Saya juga baru tahu Nexus 5 akan ada generasi kedua. Gosipnya bakal diluncurkan di Q4 2015. Nexus 5 (2015) ini pun ada dua jenis. Yang dibuat oleh LG layarnya 5,2″, dan yang dibuat oleh Huawei layarnya 5,7″. Menarik ini.

Eh iya, kalau dari review dan hasil test ArsTechnica sih, Nexus 6 gak segitu bagusnya juga sih. Untuk beberapa hal malah kalah dari Nexus 5. Untuk di spesifikasi yang sama mending Samsung Galaxy Note 4 malah. Beda ukuran layar sedikit sih. Note 4 layarnya 5,7″. Toh harganya relatif sama, mulai dari sekitar 7,5 juta-an. Ya kecuali anda sealiran saya yang lebih suka stock-Android.

Saya? Oh masih pake Nexus 4 aja. Siapa tahu ntar ada yang mau ngasih Nexus 6 buat review.. #kodekeras

Tak Mau Kalah dengan Vidio.com milik EMTEK, MNC Luncurkan Situs Ala YouTube: MeTube.co.id

Seperti tidak mau kalah dengan Grup EMTEK (holding SCTV dan Indosiar) yang meluncurkan Vidio.com, Grup MNC (OkeZone.com, RCTI, MNC TV, GlobalTV) pun meluncurkan situs ala YouTube yang beralamat di MeTube.co.id (redirect ke metube.okezone.com).

Vidio.com milik EMTEK diklaim memiliki konsep yang berbeda dengan YouTube, namun di tahap awal masih akan terlihat sama dengan konsep YouTube. Sementara MeTube.co.id, secara sekilas dapat dilihat memiliki konsep yang mirip sekali dengan YouTube. Tetapi, seperti EMTEK, kemungkinan MNC pun akan mengklaim bahwa mereka juga memiliki konsep yang berbeda dengan YouTube –walaupun ‘sangat kebetulan’ namanya pun mirip. Tapi kalau menurut saya, keduanya pada akhirnya akan berujung seperti YouTube sih, atau malah kembali ke YouTube?

MeTube ini bukan lah situs video ala YouTube pertama dari Okezone. Di awal-awal Okezone berdiri, saya sempat melihat ada link ke situs lain yang konsepnya mirip YouTube. Kurang jelas waktu itu apakah situs tersebut milik Okezone, atau hanya kerjasama. Sayang, sudah lupa nama situsnya.

Grup TV

Tidak heran kalau kedua grup pemilik jaringan TV ini memilih untuk mengembangkan situs video sharing. Sebagai penguasa penyiaran media visual, tentu wajar mereka berkeinginan memasuki area ini. Banyak alasannya, bisa jadi seperti ini: Read More

Kangen Band Go International Berkat Google Play Store

Ya.., maksudnya gak tiba-tiba di luar negri jadi laris kaya album Agnes Monica sih. Hehe. Maksudnya, album Kangen Band bisa dibeli di luar ngeri via Google Play Store – Music. Setidaknya dari Australia bisa. Eh, btw, album Agnes Monica itu laris gak sih di luar negri?

Teorinya, sebenarnya tidak selalu orang-orang itu gak mau lagu original. Tetapi orang-orang yang mau (dan punya duit) buat beli, justru dihambat untuk membeli secara resmi. Ya masak bisa beli iPhone tapi gak bisa beli lagu di iTunes? Gak mungkinlah.. #uhuk. Nah ini sudah teratasi ketika iTunes membuka akses pembeli lagu dari Indonesia.

Tetapi sayangnya hal yang sama tidak terjadi dengan Google Play Store. Walaupun Google Play Store juga menjual musik seperti iTunes, tetapi pembeli dari Indonesia masih terhambat. Jika kita menggunakan akun Google dari Indonesia, kita tidak bisa membeli musik di Play Store.

Tadinya saya kira karena Google memang belum melakukan kerjasama dengan label-label musik di Indonesia. Ternyata tidak. Sepertinya kerjasama dengan label-label ini sudah kelar. Buktinya, pengguna Google dari Australia bisa tuh beli lagunya Kangen Band via Google Play Store.

Terus, kalau pengguna Android dari Australia bisa beli lagu Kangen Band di Play Store, mengapa dari Indonesia malah gak bisa ya? Saya sempat mengira mungkin karena sistem pembayarannya belum mendukung. Tetapi dugaan saya salah. Play Store seharusnya sudah tidak ada masalah dengan pembelian di Play Store dari penggunanya di Indonesia. Selain menggunakan kartu kredit, pembelian di Play Store juga sudah bisa menggunakan Carrier Billing kok (bahasa Indonesianya: Potong Pulsa). Setidaknya Telkomsel dan Indosat sudah mendukung.

Jadi.., kenapa pengguna dari Indonesia masih belum bisa ya beli musik di Play Store? Play Store kok gituhh?

Ntar ada memenya lagi:

“Andhika ex-Kangen Band harus ke Australia biar bisa beli lagu Kangen Band di Play Store.  Disitu dia merasa sedih..”

NB: Gak cuma Kangen Band doang kok yang tersedia. PeterPan, Padi, sampai Tulus juga ada. Tapi Raisha gak ada tuh.

[Update] Beli Aplikasi Android di Google Play Store Lebih Murah dengan Kartu Kredit daripada Telkomsel Billing

Lengkap sudah. Developer aplikasi Android Indonesia bisa menjual aplikasinya di Play Store. Pengguna Android dari Indonesia juga sudah bisa membeli aplikasi dengan cara potong pulsa. Ekosistemnya sudah lengkap.

Setahu saya ada 2 operator yang menyediakan fitur ini: Indosat dan Telkomsel. Kemarin sempat terdengar kabar di Twitter kalau untuk Indosat sempat di-stop. Saya enggak tahu sekarang sudah bisa lagi atau belum.

Untuk Telkomsel Billing, saya sudah coba sendiri. Saya beli aplikasi game Kingdom Rush, dengan label harga Rp 12.000. Kata Google sih ini sudah termasuk pajak dan GST. Tetapi total biaya yang dikenakan oleh Telkomsel adalah Rp 13.440. Dari penjelasan akun Twitter Telkomsel ternyata memang harga tertera di Play Store masih belum mencakup biaya pajak PPN 10% dan biaya jasa 2%.

Saya sebelumnya pernah juga membeli aplikasi game di Play Store, namanya Game Dev Story, buatan studio game di Jepang. Seingat saya harganya waktu itu Rp 20.000. Menggunakan Google Wallet (yang terkoneksi ke kartu kredit saya). Sewaktu transaksi seingat saya tidak ada biaya tambahan lain.

Selain itu bulan lalu juga saya subscribe Majalah Tempo di Google Newsstand. Harga yang tertera adalah Rp 129.000. Informasi dari Google Wallet yang saya terima, saat transaksi biayanya tetap Rp 129.000, tanpa biaya tambahan.

Saya kurang tahu sih, apakah nanti di billing statement kartu kredit saya baru keluar biaya tambahan lain-lain terkait pembelian dengan Google Wallet ini. Asumsi saya sih tidak. Jika benar, maka kesimpulannya, kalau pertimbangannya adalah biaya, lebih murah membeli aplikasi di Play Store dengan kartu kredit (via Google Wallet) ketimbang Telkomsel Billing.

Tapi itu baru pengalaman dan info saya yang terbatas. Mungkin ada yang mau share pengalamannya?

[Update]
Carrier Billing Indosat masih aktif. Hampir sama seperti Telkomsel, Indosat mengenakan biaya tambahan 10% dari harga tertera di Play Store. Tapi saya tidak tahu apakah ada biaya jasa juga atau tidak.

SEO Expert Bersertifikasi dari Google ?

Ok, ini topik basi di seputar dunia SEO sebenarnya. Tapi tetap saja masih banyak yang tidak mendapatkan informasi dengan jelas.

Sudah sejak lama di kalangan para pentolan SEO underground Indonesia, banyak yg heran dengan mereka yg mengaku sebagai ahli SEO, dan mengaku *bersertifikasi dari Google*.  Dan sudah sejak lama juga, di kalangan industri pun, banyak yg percaya bahwa ada beberapa perusahaan resmi, yang punya sertifikat SEO dari Google.

Lalu apakah Google memang mengeluarkan sertifikasi untuk “SEO Experts” (atau sinonim lain) ?

Jawaban dari Matt Cutts (head of Google’s Webspam team) : “I don’t think Google has officially endorse any SEO certification as far as I’m aware of”.
Link : http://www.youtube.com/watch?v=fW6ZA4MMHZg

Dalam wawancaranya yg lain :
Q : Some SEO firms cold call saying they can rank people in first place. Can they guarantee this?
Matt Cutts : Not on Google. No one can guarantee this, not even Google, since our ranking algorithms are often updated.

Link : http://www.search-marketing.info/newsletter/articles/matt-cutts.htm

Yang ada itu sebenarnya adalah Google AdWords Certification Program. Apa itu? cekidot gan :  http://www.google.com/intl/en/adwords/professionals/
Dan jelas, itu bukanlah program sertifikasi untuk Ahli SEO.

😉

Kalau mau tahu lebih jelas, jangan tanya saya, silahkan tanya bung Pogung 😀

Cari Developer Itu Susah Kawan !

Masih berkaitan dengan Indonesia di TechCrunch. Ada banyak poin yang bisa dijadikan catatan. Saya menyoroti satu hal : Ternyata yang sulit di Indonesia itu adalah mencari developer, bukan pendanaannya !

…Instead, the pain point is finding developers. In Indonesia, developers are considered an entry level position, not a lucrative career path. Most companies have to invest six months or so in training the talent they need, making scaling up a challenge.

Hah?! Dengan sekian banyak website bertema programming dan development (khususnya web), belum lagi milis – milis. Ternyata susah mencari developer?!!

Oohoo.. Bukan berita baru sebenarnya. Tanyakan pada mereka yang mencari programmer, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan programmer berkualitas? Sebuah perusahaan dari grup bisnis yang sangat besar di Indonesia, dalam waktu 6 bulan pun masih belum bisa mendapatkan satu orang programmer web, dengan spesifikasi standar.

Lalu apa penyebabnya ? Saya coba rangkum. (silahkan tambahkan di kolom komentar kalau anda punya masukan baru)

Gaji

Isu sangat sensitif ini. Dan seringkali jadi pertimbangan utama (ya sama lah dengan lowongan kerja lainnya). Ada yang menawarkan standar salary yang tidak masuk akal untuk standar hidup di Jakarta. Tapi berhubung perusahaan ini punya label nama yang mentereng, banyak yang rela mengantri (sebelum akhirnya pun mengantri untuk resign).

Ada juga yang minta minimal requirement kaya dewa (yah.., para developer pasti tahulah), tapi dengan gaji standar UMR.

Nama Besar

Lalu, apa tidak ada yang menawarkan gaji besar? Ohh ada.. Tapi minimal requirement nya tinggi ya? Tidak juga..  Tapi kok gak dapet – dapet programmernya?

Nah sama juga seperti lowongan kerja lainnya. Nama besar penting. Kalau perusahaan ini masih baru (khususnya startup) mereka yang punya kualitas tinggi pun tetap akan membandingkannya dengan lowongan sejenis dari perusahaan yang punya nama besar. Apalagi kalau multinational company. Apalagi kalau oil & gas company.. (jujur..!) Read More

Lively.com Akhirnya Ditutup

Lively.com (semacam SecondLife buatan Google) akhirnya ditutup. Hmm.., Google sepertinya gagal di langkah pertamanya masuk ke industri game.

Hal yang memang cukup jadi pertanyaan saya. Google sudah masuk hampir ke semua sektor layanan di dunia online, kecuali di ranah games. Sementara Yahoo sendiri cukup berkibar dengan Yahoo Gamesnya.

Selanjutnya apa ya? Langsung Google Games kah? Buat menyaingi Yahoo Games.

Link : Berita resmi dari Google.

Google Saingi SecondLife dengan Meluncurkan Lively

Lively.comWalaupun SecondLife sudah sangat tenar di US sana, Google tetap berani meluncurkan product serupa, yang dinamai Lively. Sekarang sih statusnya masih BETA, jadi belum bisa berjalan sebagaimana seharusnya. Tapi ulasan tentang fitur dan layananya sih sudah ada dimana – mana. Berikut link terkait :

Kalau SecondLife tidak begitu populer di Indonesia, kira – kira nanti Lively bisa sukses gak ya di Indonesia? Mengingat kalau di Indonesia pasar game model seperti ini masih berkiblat ke Jepang Korea.

Pernahkah Google Gagal?

Tidak ada wanita yang sempurna.. Terlebih kalau dia bukan pasangan anda.. 😀

Google pun tidak sempurna. Sebagai raksasa perusahaan internet kelas dunia, ia pun pernah gagal. (Peringatan : Mungkin ini basbang.. karena terjadi tahun 2006 dulu..). Saya baru tahu setelah nyasar ke blog Joe Anderson ini. Dia menyebutkan ada tiga produk Google yang gagal :

  • Google Answers (layanan persis Yahoo Answers, tapi berbayar, karena dijawab oleh tim yang profesional). Lesson learned : Kalau ada layanan yang gratis, ngapain bayar? Walaupun belum tentu informasi dari layanan yang gratis itu benar.
  • Orkut  : Memang penggunanya sekarang 120 juta orang, tapi sebagian besar dari Brazil dan India. Sementara target market mereka adalah US. Lagian apa Friendster, MySpace, Facebook, dll.. masih kurang?
  • Google Video : Sepertinya mereka perlu belajar dari Yahoo. Ketika Yahoo mengakuisisi Flickr dari pasangan suami istri Stewart Butterfield dan Caterina Fake, dengan berani Yahoo menutup layanan Yahoo Photos. Google tidak melakukannya ketika mengakuisisi YouTube dari tangan Steve Chen dkk. Saya sendiri penasaran mengapa Google tidak menutup Google Video.

Untuk yang kedua dan ketiga, saya sendiri juga gak tahu apa produk itu benar – benar gagal (secara bisnis), secara sumbernya cuma dari obrolan di blog – blog praktisi web di luar sana. Tapi kalau untuk Google Answers, memang benar – benar gagal.

Tapi setidaknya mereka mencoba, karena itu mereka belajar. Kalau Coldplay bilang : “But if you never try then you’ll never know..