Prinsip Emas

image“Ngapain sekolah jauh – jauh ke luar kota? Kalau memang anaknya pintar, kuliah di sini saja. Emas itu, dimanapun dia diletakkan, tetaplah dia emas”.

Begitu kurang lebih ujar seorang saudara saya ketika orang tua kami memutuskan untuk menyekolahkan kakak pertama saya ke luar kota, ke sebuah kampus negri yang secara umum lebih baik daripada yang ada di daerah saya. (Selain karena memang jurusan yang dia sukai juga memang tidak ada di daerah saya).

Sejenak kata – kata kerabat kami itu cukup membuat otak saya yang masih duduk di bangku SMP kala itu memberikan kesimpulan logis “Iya juga ya. Emas dimana aja kan tetap emas.”

Lalu kemudian ayah saya menjawab. “Iya. Betul itu, emas dimana saja diletakkan tetaplah emas. Tapi gini deh, kalau ada emas di toko, kamu mau beli yang berwujud serpihan, belum berbentuk dan masih kotor, atau yang sudah dibentuk dengan cantik dan dibersihkan dengan mengkilat?”

Ahh.. ayah saya memang bisaaa aja jawabnya. 😀

Dan logika saya pun kembali diluruskan.

Selamat hari Senin.

Mempertanyakan Pendidikan Indonesia

Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari tulisan sahabat saya, Nandi, tentang Generasi Karbitan. Saya sebenarnya memiliki kegelisahan yang sama. Apakah memang kurikulum di Indonesia ini yang salah, atau memang individunya yang tidak beres, atau ini masih dalam proses?

Saya belum pernah ke luar negri (sahabat saya tadi itu sudah). Tetapi saya sering mendengar cerita tentang bagaimana pendidikan di luar negri sana. Katanya, anak – anak di Jepang dari kecil sudah terbiasa untuk pergi berangkat sekolah tidak diantar, tetapi bergabung dalam kelompok – kelompok kecil dan pergi berangkat ke sekolah bersama (katanya…). Kemudian tentang anak setingkat SMP di Amerika yang tidak dijejali semua mata pelajaran, mulai dari Geografi, Biologi, Fisika, Akuntansi, Matematika, Ekonomi, dll. Bahkan (katanya lagi nih). Bahkan salah seorang teman saya yang lain berkomentar cukup sinis, wajar kalau olimpiade tingkat SMA Indonesia bisa juara dunia, karena di luar sana integral saja baru diperkenalkan secara resmi di bangku kuliah. Sulit untuk mengcross-check cerita – cerita itu, mungkin anda – anda yang pernah / sedang hidup di luar negri bisa mengklarifikasi.

Lalu saya juga pernah membandingkan jumlah SKS tingkat Strata-1 di luar negri dengan di Indonesia. Saya membandingkan jurusan saya sendiri (Teknik Fisika), dengan jurusan sejenis di Jepang. Sangat jauh ternyata, di jurusan saya ini (di UGM), saya harus menyelesaikan 144 SKS untuk mendapatkan gelar sarjana, sementara di Jepang “hanya” butuh 77 SKS. Walaupun mungkin kedalaman materinya berbeda. Continue reading