Tag: startup

Andrew Darwis Menanggapi Situasi Dunia Startup Indonesia Belakangan ini

Satu hal yang harus diingat, startup itu bukan “overnight success”, butuh pengorbanan waktu dan passion terhadap product tersebut.

Banyak startup yang baru dibuat (hanya bermodalkan) business plan, (lalu) “digoreng” -jual ke investor, jual lagi ke investor lebih besar, again… and again. It works and some startup doing it. Tapi gak semua bisa beruntung mendapatkan investor. Akhirnya startup yang tidak beruntung dan gagal harus gulung tikar. Dan (ini akhirnya) membuat kepercayaan terhadap industri startup kurang bagus.

~Andrew Darwis (founder Kaskus) menanggapi situasi startup di Indonesia belakangan ini.

Sumber: Techinasia

Algoritma Go-Jek yang Terbalik

Kemarin malam saya berada di Ratu Plaza, daerah Senayan. Saya hendak ke suatu tempat di daerah Cidodol. Karena males kena macet, saya pesan lah Go-Jek. Setelah pesan saya tidak perhatikan lagi aplikasinya. Sibuk mengunyah makanan.

Tak lama saya mendapatkan panggilan telpon. Ternyata pengemudi Go-Jek. Saya belum cek lagi aplikasinya. Dia bilang paling lama 10 menit baru nyampe. Saya menduga dia di sekitar Senayan, tapi terjebak macet. Ya sudahlah.

5 menit kemudian, baru saya cek aplikasinya. Posisi si pengemudi di daerah Cidodol. Lah?? Itu tujuan saya toh. Saya mau batalkan kok kasihan juga dia sudah datang jauh-jauh.

Lebih dari 15 menit, pengemudi Go-Jek nya baru sampai. Dan dia mengkonfirmasi, benar dia tadi Cidodol. Duh.

Saya enggak ngerti logika aplikasi di Go-Jek ini. Seringkali saya melihat di depan mata saya paling tidak ada 10 orang pengemudi Go-Jek yang sibuk memperhatikan ponselnya, siap menunggu orderan. Tetapi ketika saya memesan jasa Go-Jek, yang mendapatkan pesanan malah berjarak 2 km dari lokasi saya.

Inilah sebabnya terkadang saya terpaksa membatalkan pesanan saya, dan coba pesan lagi. Apesnya, jika membatalkan pesanan sampai 5x dalam sehari, akun kita akan dibekukan sementara. Dan ini tanpa pemberitahuan. Saya sendiri pernah mengalami. Karena komplain via telponlah saya baru tahu penyebabnya.

Gak ngerti deh gimana sebenarnya algoritma yang digunakan Go-Jek. Semoga pengemudi UberMotor cepat bertambah banyak. Saya (dan mungkin banyak orang lainnya) butuh alternatif.

*Kenapa gak pakai GrabBike? Karena GrabBike harus dibayar tunai langsung. Saya malas berhadapan dengan “modus tidak ada kembalian”. Sekali dua kali tidak apa-apa, kalau berpuluh kali ya nyesek juga.

Saling Berbagi Perusahaan Teknologi di Indonesia

[Foto: adders | flickr.com]

Saya pernah tahu ada acara-acara sharing session tentang topik spesifik yang disponsori oleh perusahan “teknologi” di Indonesia. Misal topik tentang NodeJS, PHP atau Python misalnya. Tetapi saya jarang mendengar sharing session tentang bagaimana teknologi di perusahaan itu sendiri. Baik tentang arsitektur teknologinya, cara mengatur orang dan fungsi-fungsinya, atau perangkat lunak/keras apa saja yang dipakai.

Kalau di luar negri ini seperti sudah jadi kegiatan rutin. Di YouTube banyak video-videonya. Jaman saya masih senang otak-atik dunia pemrograman, saya sering lihat video-video ini.

Blibli.com salah satu contoh yang baik. Minggu lalu mereka mengadakan acara sharing session. “Buka-bukaan” tentang teknologi yang digunakan mereka. Silakan baca detailnya di LABANA.ID.

Dengan acara seperti ini, efeknya bagus juga bagi para pelaku industri ini. Selain mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak, paling tidak mereka bisa mendapatkan informasi untuk peluang karir berikutnya. 😀

Nilai Akuisisi Startup Media di Indonesia

Rangkuman akuisisi yang saya ingat:

  • Detikcom (berdiri tahun 1999) dulu dibeli Trans Corp dengan harga sekitar Rp 500 M.
  • Kaskus (berdiri tahun 1999) gosipnya dibeli GDP (Djarum Group) dengan harga sekitar Rp 500 – 600 M.
  • KapanLagi (berdiri tahun 2003), valuasinya (gosip juga) sekitar Rp 1 T ketika sebagian sahamnya dibeli MediaCorp.
  • Hipwee (berdiri tahun 2014), nilai akuisisinya oleh Migmee adalah Rp 5,4 M. Situs ini sering disebut-sebut sebagai BuzzFeed nya Indonesia.

Semua contoh di atas adalah startup yang kriterianya didirikan di Indonesia, dan target pasarnya juga Indonesia. Hanya saja mereka masuk dalam kategori industri media online. Khusus 3 teratas, mereka didirikan di sekitar waktu tahun 1999 – 2003, sekitar 13 tahun lalu.

Sekarang lihat startup dengan dengan kriteria yang sama, tetapi bukan media online, alias mereka yang disebut “startup teknologi”.

Tokopedia (didirikan tahun 2009, 7 tahun lalu) – Pertama didirikan digelontorin dana Rp 2,4 M untuk 80% saham. Artinya valuasinya waktu baru berdiri sudah Rp 3 M. Sekarang? Dengan suntikan dana baru hampir Rp 2T, tentunya valuasinya sudah di angka triliunan Rupiah.

Go-Jek (berdiri tahun 2010, tapi baru aktif kembali sekitar tahun 2012 akhir) – Dikabarkan mendapatkan investasi ratusan juta dollar oleh Bloomberg.

Kesimpulannya, startup media di Indonesia memang angkanya gak bombastis kayaknya ya.

Startup Kecoa dari Indonesia

[Foto: stevebethell | flickr.com]

Kebanyakan startup lokal (yang baru berdiri) yang saya baca atau temui masih versi idealis. Jadi startupnya dibangun “mungkin” setelah banyak menelan cerita di media yang kurang lebih mengatakan: “Startup X itu awalnya cuma produk iseng. Terus dikembangkan aja pokoknya. Marketnya belum ada siih bukan masalah, justru dia yang bikin marketnya. Urusan ntar duitnya dari mana, belakangan. Yang penting growth-nya bagus. Growth hacking, bro!”

Seringkali mereka lupa, startup itu (seharusnya) adalah perusahaan. Bukan proyek akhir pekan, iseng-iseng berhadiah, atau sekadar mengisi waktu luang -kaya blog saya ini.

Tapi di Echelon 2016 kemarin, saya ketemu 2 startup yang berbeda. Konsepnya jelas, tim pendirinya juga kompeten, dan ini yang paling menarik, bisnisnya memang sudah jalan dan memiliki penghasilan. Ini kalau kata saya startup dengan paket lengkap. Mereka adalah NATAProperty, dan InsanMedika. (InsanMedika bisnis offline nya sudah jalan lama sih sebenarnya).

Di Sillicon Valley kan fokus investor sudah mulai bergeser dari “startup unicorn” ke “startup kecoa”. Startup kecoa itu artinya: realistis, tidak perlu besar-besar banget growthnya, tapi sustain terus dan bisa bertahan melewati berbagai situasi ekonomi. Kaya kecoa beneran, habis perang nuklir pun kemungkinan masih bisa hidup. Bahkan kepalanya dipotong aja masih bisa hidup lama. Dan kedua startup tadi masuk kriteria startup kecoa ini menurut saya.

Kalian mau jadi yang mana? Kecoa atau Unicorn?

Teknologi di Indonesia di Mata Ahli Ekonomi

[Foto: superamit | flickr.com]

Mungkin kalian juga sudah baca tulisan Rhenald Kasali tentang “Sharing Economy”? Tulisan ini diforward dari milis ke milis, Facebook, group WhatsApp, dll. Cukup menggugah. Karena memang di tahun 2014 pun, ulasan Wired* tentang “Sharing Economy” juga cukup menggugah.

*Tulisan Wired itu menekankan bahwa Sharing Economy itu maju karena dasarnya adalah rasa saling percaya (trust). Tapi kemudian dibantah oleh NY Magz, yang menyatakan sebenarnya dasarnya adalah terdesak kebutuhan ekonomi. It’s all about money, not trust.

Read More

Founder Startup yang Tidak Meyakinkan

[Ilustrasi: motivatinggiraffe.com]

Saya sepaham dengan Paul Graham, dalam membangun startup itu founder punya faktor kuncian lebih signifikan dibandingkan ide startup itu sendiri.

Ini bukan soal foundernya lulusan kampus ternama dari Amerika, pernah bekerja di perusahaan konsultan manajemen kelas dunia, atau pernah bekerja di Silicon Valley. Tapi kombinasi dari semuanya. Bisa soal faktor tadi maupun soal karakter, intuisi, koneksi yang dimiliki, pengalaman, dll sampai soal latar belakang keluarga.

**

Sekitar setahun lalu seorang teman pernah mengenalkan seseorang kepada saya. Orang ini mempunyai ide startup yang menarik. Bukan ide baru sih sebenarnya, di Singapore, China dan Australia bisnis ini terbukti sukses, hanya saja di Indonesia belum ada yang memulai. Saya bahkan tidak ada tahu ada bisnis seperti ini. (Maaf, tidak bisa saya sebutkan apa nama startup dan detail bisnisnya.)

Saya sebenarnya tidak ada urusan dengan startup ini. Diskusi ini adalah antara si founder dan teman saya tadi. Mereka sedang menjajaki kemungkinan kerjasama. Saya ikut diskusi hanya untuk brainstorming, second opinion dan men-challenge ide-ide yang ada.

Keraguan

Singkatnya, setelah meeting itu selesai, saya mengatakan kepada teman saya, “Jujur aja bro, gue sih gak yakin bakal jalan startupnya. Bukan soal ide-nya sih, tapi momennya terlalu cepat untuk di Indonesia. Selain itu dia gak punya background technical dan gak punya orang technical, sementara startupnya sangat related sama technical. Lagian kayaknya orangnya kurang fokus ya. Sepertinya bisnis keluarganya masih jadi fokus utama dia.”

Tidak adil sih memang mengambil kesimpulan seperti itu, karena saya cuma pernah ketemu sekali saja. Namun pembenaran saya waktu itu, toh biasanya founder startup hanya dapat kesempatan satu kali untuk membuat impresi pada calon investor.

Kenyataan

Fast-forward ke akhir 2015, ternyata startupnya berjalan juga. Dia mendapatkan pendanaan dari VC yang cukup populer di Indonesia. Kemudian dia berhasil mengukuhkan kerjasama startup-nya dengan pebisnis besar lainnya.

Lebih hebatnya, di awal 2016, saya mendengar startupnya hendak diakusisi oleh salah satu grup konglomerat Indonesia dengan angka yang cukup luar biasa. Namun investornya tidak memberikan lampu hijau. Menurut investornya, setelah valuasinya naik paling tidak 3000 kali lipat, barulah bisa dijual (exit). Saya enggak tahu akhirnya jadi diakuisi atau enggak.

Faktor X

Jujur saja, saya kaget. Ternyata saya terlalu meng-underestimate si foundernya. Mungkin dia memiliki faktor X yang tidak bisa saya lihat waktu itu. Atau (lebih mungkin) memang karena saya juga tidak (belum) mempunyai intuisi yang bagus untuk menilai karakter founder.

Intinya, kalau kalian sedang membangun sesuatu, entah itu startup, yayasan, komunitas, dll, jangan langsung down ketika ada yang mengatakan ide kalian itu tidak bakal jalan. Siapa tahu anda sama seperti founder yang saya ceritakan di atas. Atau siapa tahu yang memberi anda komentar itu cuma orang seperti saya, atau.. emm.. bisa jadi memang beneran perlu dipertimbangkan lagi sih idenya. 😀

Sekarang Saya Baru Paham Apa itu Storial.co

Baru saja kemarin saya nulis tentang Wattpad. Dan ini beneran loh, saya itu bener-bener baru tahu tentang Wattpad beberapa hari lalu. Sementara itu, lucunya, saya sudah tahu (dengar) Storial dari beberapa waktu lalu.

Jauh sebelum saya tahu Wattpad, saya mendengar kabar ada “startup” baru lagi di Indo, namanya Storial.co. Sekilas baca deskripsinya ada kata “penulis” dan “online”. Langsung saja saya teringat NulisBuku.com. Dan benar ternyata, Ollie (pendiri NulisBuku.com) ternyata juga adalah pendiri Storial.co.

Sekilas baca, saya gak benar-benar ngerti detail apa sebenarnya Storial.co itu. Yang tertangkap di kepala saya adalah “Ini tempat penulis cerita untuk bisa dapatkan uang. Jadi kaya NulisBuku.com, bedanya di sini bacanya bener-bener online, bukan beli PDF dulu.” Hingga akhirnya saya ketemu Wattpad (ya seperti ulasan saya kemarin).

Nah, tadi sebenarnya saya sedang mencari komunitas/grup pengguna Wattpad Indonesia. Dan ketemu lagi lah sama Storial. Nah.., sekarang saya baru paham apa itu Storial. Setelah kemarin beberapa hari menggunakan Wattpad, bagi saya, pada dasarnya Storial.co ini adalah versi Indonesia nya Wattpad. Seriusan, UI/UX nya aja mirip banget.

Di satu sisi saya cukup gembira, karena ternyata sudah ada Wattpad versi lokal, sehingga gak pusing cari tulisan-tulisan original dari penulis lokal. Tapi di satu sisi agak sedih karena mirip banget sama Wattpad. Tapi.. yaaa.., saya cuma pengguna aja. Terserah daaah..

Politik & Jualan

Kekhawatiran saya cuma satu. Di Indonesia itu, platform media UCG (User Generated Content) seringkali berubah wujud jadi 2 jenis: Tempat Jualan dan/atau Tempat Kampanye Politik.

Facebook, Whatsapp, Twitter sudah jadi contoh nyata. Di Storial, saya beberapa kali melihat tulisan yang menjurus ke politik. Karena isinya bukan lagi karangan fiksi, tapi potongan-potongan dari artikel dari media lain. Entahlah, apa tujuannya. Mudah-mudahan Ollie dkk bisa antisipasi ini.

***

Eh iya, ini dia tulisan cerpen pertama saya di Storial. 10 menit sebelumnya baru saya publish di Wattpad juga sih. 😛 Judulnya “Rumah Siapa”.

P.S: Ini gak ada yang mau bikin SoundCloud versi lokal juga sekalian? Saya dukung looh. Susah tau cari karya-karya musik original dari Indonesia.

CEO Meetdoctor.com Mengundurkan Diri

Di tengah munculnya Konsula –startup baru yang bisa jadi pesaing MeetDoctor, justru terdengar kabar mengejutkan dari MeetDoctor. CEO nya, Adhiatma Gunawan, mengundurkan diri, per 1 Oktober 2015 ini.

Adhiatma (yang juga seorang dokter) mengatakan alasannya keluar adalah karena MeetDoctor sudah tumbuh semakin besar dan kuat dan menjadi pemain penting di pasar. Menurut Adhiatma, ini adalah saatnya bagi penerusnya kelak, untuk membawa MeetDoctor ke pencapaian yang lebih tinggi.

Ya.., kalau menurut saya pribadi sih mungkin ada alasan lain. Kan sayang keluar dari startup yang sudah semakin besar. Tapi, entahlah ya. Siapa tahu kapan-kapan saya bikin tulisan lain yang menuliskan gebrakan Adhiatma berikutnya di dunia digital. 😀 Saya yakin perjalanan Adhiatma berikutnya pasti gak jauh-jauh dari membangun bisnis digital baru. Mari kita lihat nanti.

Tentang MeetDoctor.com

MeetDoctor.com adalah layanan konsultasi kesehatan gratis dengan dokter. Di sini pengguna layanan bisa berkonsultasi soal kesehatan secara umum dan akan dijawab langsung oleh dokter.

Saya pernah coba beberapa kali. Pertama kali mengirimkan pertanyaan, cukup memuaskan, tidak sampai 5 menit sudah mendapatkan respon. Tetapi tidak demikian untuk pertanyaan susulan. Ada yang dijawab beberapa hari kemudian, ada yang tidak pernah dijawab lagi.

Meetdoctor sendiri sudah mendapatkan investasi sekitar Rp 3,2 Miliar dari SMS CO.,LTD pada April 2013. Saat itu SMS berinvestasi bersama Corfina Capital (perusahaan investasi lokal). Dari hasil investasi ini, SMS memiliki 50% saham.

SMS (Senior Marketing System) adalah sebuah perusahaan dari Jepang yang bergerang di bidang manajemen dan teknologi di dunia healthcare dan nursing care.

Di July 2013, Meetdoctor sudah menjadi PT sendiri, dan kepemilikan SMS berubah menjadi 60.8%.

Fase Pengemudi Gojek (dan GrabBike) Berikutnya

[Ilustrasi: Convention In Session, 3Am – Clark Demonstration | pond5.com]

Beberapa hari lalu saya menggunakan jasa Gojek. Pengemudinya bercerita, ada salah satu pengemudi Gojek meninggal saat membelikan pesanan seorang pelanggan. Bukan karena apa-apa, tapi memang karena sakit. Kurang jelas, sakit jantung atau “angin duduk”.

Kabar meninggalnya pengemudi ini menyebar dengan cepat di grup-grup Whatsapp para pengemudi Gojek. Dan akhirnya banyak yang datang melayat. “Kita mah pada gak kenal, Mas. Tapi ya, kita ngerasa sesama sodara aja gitu sesama pengemudi Gojek”, begitu ujar pria yang pernah bekerja sebagai staff di salah satu hotel top di Jakarta ini.

Di lain waktu, saya pernah ngobrol dengan pengemudi Gojek. Cerita soal ojek pangkalan yang menentang keberadaan Gojek, bahkan kadang sampai melakukan kekerasan kepada pengemudi Gojek. Pria muda ini lalu mengatakan, “Kita sih Mas sebenarnya bisa aja balas. Kaya yang di Sawangan itu. Sekarang gini aja, Mas, mereka yang di pangkalan itu cuma berapa orang sih? Lagian mereka kan mangkal di situ terus, kita kalau mau balas serang, gampang nyari mereka. Lagian jelas banyakan kita. Ribuan orang juga bisa kita gerakin. Mereka malah susah kan bales kita. Lah wong kita tersebar kok. Ya, gak Mas?”

Tak lama kemudian saya membaca di media online, ada konvoi ribuan pengemudi Gojek untuk mengantarkan jenazah salah satu pengemudi Gojek yang meninggal karena kecelakaan. Alasannya karena solidaritas sesama pengemudi Gojek.

Dari satu sisi, yang saya lihat belakangan ini baru jadi semacam “unjuk kekuatan” yang tidak disengaja.  Berkumpul bersama, demi solidaritas. Tapi bisa jadi belakangan, setelah sadar mereka punya kekuatan, akhirnya berubah jadi “unjuk kekuatan” beneran. Dan seperti yang dikhawatirkan beberapa pengamat di dunia online, bukan tidak mungkin nantinya ada organisasi yang merangkul mereka, atau justru mereka membuat organisasi sendiri.

Lalu bagaimana dengan GrabBike? Bisa jadi sama. Urusan cari duit di jalanan itu sejak dulu memang keras. Jika sudah semakin besar, mungkin pengemudi GrabBike dan Gojek awalnya bersatu. Mereka “unjuk kekuatan” dulu ke ojek-pangkalan yang nyata-nyata menolak keras keberadaan mereka. Fase berikutnya, di antara mereka sendiri bisa terjadi pergesekan.

Lalu muncul lah elemen berikutnya. Serikat buruh.

Di sini semakin rumit. Karena pengemudi Gojek dan GrabBike bukanlah karyawan dari Gojek ataupun GrabBike. Mereka semua pekerja lepas. Membuat serikat buruh seperti layaknya di perusahaan-perusahaan manufacturing itu mungkin bakal membutuhkan format dan kerangka aturan yang berbeda. (Disclaimer: saya bukan ahli hukum) Bisa jadi akhirnya mereka akan mulai menuntut berbagai hal.

Seperti kumpulan massa dalam format dan alasan apapun, jika tidak hati-hati bisa jadi suatu saat mereka ditunggangi kepentingan tertentu. Mudah-mudahan Gojek (ataupun GrabBike) sudah siap dengan kemungkinan ini.

Pesan Wired.com kepada Startup Media

[Ilustrasi: Ahmad Hammoud – ahmadhammoudphotography | flickr.com]

So startups out there listening—if you want to fizzle, like Circa, or have a slim chance of being acquired, like Wavii, Summly, and Pulse, do more or less the same. But if you can solve the real  problems that have faced news organizations since news first made its way online, you may have a  chance of making it on your own. Do what no one else can do: find new ways to profit off the news. Otherwise, you’re in it with the rest of us.

~Wired.com

Wired membahas tentang Circa yang akhirnya menyatakan akan magudTM. Circa adalah startup penyedia berita dalam bentuk mobile application. Berbeda dengan ala-ala BuzzFeed, UpWorthy, dll yang fokus ke gimana caranya dapat trafik sebanyak-banyaknya, Circa fokus ke isi berita yang straightforward, fokus ke fakta dan informasi yang penting. Well, sayangnya Circa salah melihat peluang. Bukan bagaimana cara menyampaikan konten yang jadi masalah, tapi gimana cara mendapatkan uang dari konten tersebut.

Kalau di Indonesia sih, pasarnya belum seperti di US. Makanya portal-portal berita itu juga masih lincah bermain-main headline ala-ala BuzzFeed demi mengejar trafik. Kalau trafik sudah tinggi (Alexa tinggi), tinggal jualan ads banner atau “native-ads” a.k.a advertorial deh.

Saya setuju dengan Wired. Kalau ada startup yang tahu cara memonetisasi media online dengan tidak bergantung pada “tweaking” headline dan konten ala BuzzFeed, niscaya akan jadi “disruptor” bisnis media online.

Investor Go-Jek dan Sejarah Para Pendirinya

[Foto: kompas.klasika | flickr.com]

Catatan: Tulisan ini dibuat pada bulan Juli tahun 2015. Sekarang Go-Jek sudah membuka informasi siapa saja investornya.

Saya baca di blog ini, di salah satu paragrafnya kurang lebih disebut, “Sampai sekarang Go-Jek belum mau membuka siapa investornya.” Saya baru kepikiran. “Hah, masak sih?”. Di era startup rame-rame ngomongin siapa investor mereka, atau diakusisi siapa, beberapa bahkan menyebutkan nominalnya, saya juga baru sadar kalau Go-Jek sepertinya tidak ramai dibicarakan siapa investornya.

Sejauh yang saya dapatkan informasinya baru Northstar Group, via NSI Ventures, yang menginformasikan Go-Jek sebagai portofolio investasi mereka. Ini tercantum di situs resmi Northstar, maupun NSI Ventures.

*Northstar adalah perusahaan private equity (sejenis Saratoga, TRG gitu kali ya kalau di Indonesia). Kalau NSI Ventures adalah perusahaan venture capital. Beda private equity sama venture capital apa? Googling aja ya. Haha.

[UPDATE]

  • Kabarnya Go-Jek sudah dapat investasi lagi dari Sequoia Capital senilai (setidaknya) USD 20 juta. Sekitar 260 miliar dalam Rupiah
  • Bloomberg melaporkan pada Maret 2016 bahwa Go-Jek sudah mendapatkan investasi senilai ratusan juta Dollar. Tapi di saat yang sama, Nadiem pun menyatakan bahwa Go-Jek belum menjadi “unicorn” (startup dengan nilai perusahaan setidaknya 1 miliar Dollar).
  • Techinasia juga mencatat bahwa DST Global (dari Rusia) sudah menjadi investor Go-Jek.

[UPDATE – Agustus 2016]

Go-jek diberitakan mendapatkan pendanaan baru sebesar $ 550 juta (sekitar Rp 7,1 triliun). Di sini terungkap nama-nama investor Go-Jek. Mereka adalah:

  • KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital serta Capital Group Private Markets (Investor yang membenamkan dana total Rp 1,7 triliun).
  • Sequoia India, Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures serta Formation Group (Investor-investor sebelumnya)

Kalau melihat awal-awal Go-Jek launching dulu tahun 2010, sebenarnya liputannya cukup lumayan. Mereka sempat diliput oleh The Labana Post The Jakarta Post. Di situ disebutkan nama Arthur Benjamin sebagai angel investor Go-Jek. Tapi anehnya, salah satu petinggi Go-Jek yang sekarang bahkan gak tahu nama itu. Perkiraan saya sih, Arthur sudah tidak lagi menjadi investor di Go-Jek. Kok bisa? Mungkin yang berikut ini bisa jadi penjelasannya.

Para Pendiri Go-Jek

Go-Jek, didirikan oleh Nadiem Makarim, Brian Cu and Michaelangelo Moran. Sebelum mendirikan Go-Jek, Nadiem bekerja di McKinsey, Brian Cu bekerja di BCG, sementara Michaelangelo bekerja sebagai Web Interactive Designer freelancer.

Nah ini yang menarik. Go-Jek itu dari berbagai liputannya, disebut bahwa mereka didirikan di sekitar Juni 2010. Hingga 2011, beritanya masih keluar di media. Termasuk artikel di The Jakarta Post tadi. Tapi, sejak 2011 akhir, bisa dibilang Go-Jek agak meredup dari pemberitaan.

Penyebabnya? Saya gak tahu persis. Tapi bisa jadi karena setelah mendirikan Go-Jek di 2010, Nadiem dan Brian justru bekerja di Rocket Internet untuk membangun Zalora.com. Nadiem bergabung ke Zalora di November 2011, dan Brian bergabung di Januari 2012. Mereka direkrut oleh Rocket Internet untuk membangun Zalora Indonesia (fashion e-commerce).

*Sudah bukan rahasia lagi memang kalau Rocket Internet gemar mengambil tim dari mantan karyawan perusahaan konsultan manajemen. Nadiem ex-McKinsey, dan Brian ex-BCG. Dua nama besar perusahaan konsultan.

Saya enggak tahu pastinya ketika Nadiem bergabung ke Rocket Internet, Go-Jek statusnya bagaimana. Apakah memang vakum atau malah dibangun ulang. Kalau beneran dibangun ulang gak heran kalau akhirnya Arthur Benjamin sudah tidak lagi tercatat sebagai pemilik saham.

Lalu setelah keluar dari Zalora, gimana kelanjutannya? Nah ini menarik juga. Setelah keluar dari Zalora, Nadiem juga belum memilih fokus dengan Gojek-nya. Di April 2013 lulusan MBA Harvard ini malah bergabung ke Kartuku, menjabat sebagai CIO. Setahun di Kartuku, barulah Nadiem kembali fokus ke Gojek.

Brian Cu? Setelah keluar dari Zalora, lulusan National University of Singapore ini memilih berkarir di GrabTaxi sejak Juni 2013. Iya, GrabTaxi yang itu.., yang juga meluncurkan GrabBike, pesaing utama Go-Jek.

Ini menarik. Kalau melihat timeline catatan karir mereka di Linkedin, tentunya setelah Brian Cu meluncurkan Grab Bike, rasanya tidak mungkin lagi da masih memiliki saham di Go-Jek.

[Catatan: Anthony Tan -pendiri GrabTaxi itu adalah teman Nadiem sewaktu sama-sama berkuliah di Harvard]

[UPDATE: Nadiem Nakarim adalah Warga Negara Indonesia, orang tuanya berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Ayah Nadiem adalah pengacara tersohor, Nono Anwar Makarim -lulusan Harvard juga.]

The New Go-Jek

Di 2015 ini, Go-Jek mulai ramai lagi. Kalau dulu pesannya harus via telpon, sekarang sudah bisa via aplikasi, ala-ala Uber. Walaupun aplikasinya menurut saya kualitasnya masih jauh dari Uber.

Mengapa aplikasinya kualitasnya masih jauh? Beberapa kali saya gunakan, aplikasinya suka error sendiri. Pesen Gojek, nunggu agak lama, terus muncul notifikasi pengemudi sudah dapat, sedang dalam perjalanan. Tapi informasi pengemudinya kosong. Gak ada nama maupun nomor telpon. Posisinya? Di laut. Tapi pernah juga berhasil dengan mulus sih.

Lalu ini yang paling parah, seringkali (dapat cerita) aplikasinya bisa diakali sendiri oleh pengemudi Gojek-nya, maupun oleh pengguna jasanya. Pengemudi Go-Jek nya bisa dapat 800rb sehari dengan ngakalin aplikasinya. Ini abang-abang Go-Jek nya sendiri lho yang cerita. Penumpangnya? Well.., gitu deh. Biar jadi PR orang teknologinya Go-Jek lah ini.

Soal investor, seperti disebutkan tadi, strateginya Nadiem agak beda dengan kebanyakan startup lainnya. Di beberapa media, Nadiem menyatakan kalau enggan membuka informasi investor Gojek. Bukan soal nominal saja, tapi soal siapa investornya. CFO nya Gojek pun waktu saya tanya tidak bisa memberikan informasi, confidential katanya.

Pertumbuhan Gojek sepertinya luar biasa tahun ini. Download aplikasinya sudah lebih dari 500rb. Jumlah mitra abang ojeknya pun sudah 10rb lebih, tersebar di 4 kota.

Pertanyaan dasar saya cuma satu, ini Gojek mau ngincer exit, atau memang mau dijalankan long term ya? 😀

PS: Terus, Michaelangelo Moran gimana? Well, kata info user di Wikipedia (ini saya quote ya) “Michaelangelo Moran is a son of a bitch and janitor based currently in San Francisco”. Saya yakin ini pasti becandaan sih. Entah oleh dia sendiri (yang memang pekerja kreatif), atau temen-temennya. 😀

[UPDATE]

Di Maret 2016, Bloomberg melaporkan bahwa Go-Jek telah memiliki 200.000 armada.

Bacaan lanjutan: