Tak Mau Kalah dengan Vidio.com milik EMTEK, MNC Luncurkan Situs Ala YouTube: MeTube.co.id

Seperti tidak mau kalah dengan Grup EMTEK (holding SCTV dan Indosiar) yang meluncurkan Vidio.com, Grup MNC (OkeZone.com, RCTI, MNC TV, GlobalTV) pun meluncurkan situs ala YouTube yang beralamat di MeTube.co.id (redirect ke metube.okezone.com).

Vidio.com milik EMTEK diklaim memiliki konsep yang berbeda dengan YouTube, namun di tahap awal masih akan terlihat sama dengan konsep YouTube. Sementara MeTube.co.id, secara sekilas dapat dilihat memiliki konsep yang mirip sekali dengan YouTube. Tetapi, seperti EMTEK, kemungkinan MNC pun akan mengklaim bahwa mereka juga memiliki konsep yang berbeda dengan YouTube –walaupun ‘sangat kebetulan’ namanya pun mirip. Tapi kalau menurut saya, keduanya pada akhirnya akan berujung seperti YouTube sih, atau malah kembali ke YouTube?

MeTube ini bukan lah situs video ala YouTube pertama dari Okezone. Di awal-awal Okezone berdiri, saya sempat melihat ada link ke situs lain yang konsepnya mirip YouTube. Kurang jelas waktu itu apakah situs tersebut milik Okezone, atau hanya kerjasama. Sayang, sudah lupa nama situsnya.

Grup TV

Tidak heran kalau kedua grup pemilik jaringan TV ini memilih untuk mengembangkan situs video sharing. Sebagai penguasa penyiaran media visual, tentu wajar mereka berkeinginan memasuki area ini. Banyak alasannya, bisa jadi seperti ini:

  • mendapatkan konten video yang menarik (jadi tidak perlu lagi pakai caption “Courtesy of YouTube”)
  • mendapatkan talent-talent baru (yang selama ini banyak didapat di YouTube)
  • menampung acara-acara yang sudah tampil sebelumnya di TV –yang artinya bisa melakukan monetisasi di konten yang sama lebih panjang
  • secara resource, toh baik EMTEK maupun MNC masing-masing sudah memiliki tim teknologi yang sesuai. EMTEK dengan KMK nya, dan MNC dengan Okezone nya.

Jadi bisnis website video-sharing ini sangat potensial dong dimasuki oleh mereka? Err.., menurut saya enggak juga.

Ujung-ujungnya Tetap YouTube

Alasan-alasan di atas tadi terlihat masuk akal untuk menjadi validasi memasuki bisnis video-sharing ini. Tetapi menurut saya tidak juga. Ada banyak alasan kenapa ujung-ujungnya orang – orang kemungkinan akan kembali ke YouTube. Ini misalnya:

  • Integrasi aplikasi untuk upload ke YouTube dari perangkat mobile
  • Aplikasinya terinstall secara default di sebagian besar perangkat Android
  • Dapat diakses dengan nyaman di perangkat apapun (PC, iOS, Android, Linux, Blackberry, dll) dan di ukuran layar apapun (tablet, phone, phablet, TV, dll).
  • Teknologi YouTube mampu menyesuaikan kualitas video sesuai dengan kualitas koneksi internet yang digunakan
  • Ketersediaan plugin-plugin player video di YouTube. (misal: plugin di WordPress, Drupal, dll)
  • Ketersediaan API (yang akhirnya memungkinkan integrasinya dengan berbagai aplikasi lain).
  • Embed video YouTube ke media lain disupport (contohnya ketika post link YouTube di Facebook, linknya otomatis jadi player video)
  • Audience yang paling besar dari semua situs video-sharing

Pengguna internet (baik di Indonesia maupun di luar negri), sudah terbiasa dengan standar situs video-sharing sekelas YouTube. Selevel itu pula lah ekspektasi mereka. Jadi bukan cuma urusan mendapatkan konten dan iming-iming hadiah bagi pembuat video, urusan ekosistem dan integrasi pun jadi PR besar. YouTube bisa seperti itu karena dukungan teknologi di level teratas plus kocek terdalam.

Legal

Nah kemudian, soal masalah yang bakal dihadapi situs video-sharing. Jika konsepnya sama seperti YouTube, user bisa bebas mengupload video apapun. Ini jadi PR besar. Bagaimana mereka menanggulangi upload content yang melanggar hak cipta, tidak berijin, menyinggung SARA, atau bermuatan pornografi ? YouTube sendiri harus habis-habisan mengurusi pelanggaran hak cipta di dalam situsnya. Dari yang pernah saya baca, YouTube membayar sangat mahal untuk urusan legalisasi konten-konten tersebut.

Dari sisi bisnis, YouTube hingga sekarang pun (2005-2015), belum menghasilkan profit. Untungnya YouTube dimiliki oleh Google yang koceknya sangat-sangat dalam. Jadi tidak perlu kuatir soal pendanaan.

Grup TV di Luar Negri

Saya tidak bilang MNC dan EMTEK dananya terbatas, namun perlu diingat grup media TV di US pun dananya tidak sedikit. Lalu, kenapa mereka tidak menjalankan strategi seperti EMTEK dan MNC ini? Apakah karena teknologi dan pendanaannya tidak cukup? Kenapa mereka justru malah lebih memilih membuat official channel di YouTube?

**ini sepengetahuan saya, mungkin jika ada yang tahu situs video-sharing ala YouTube yang dibangun oleh grup media TV di luar negri, tolong informasikan via kolom komentar di bawah ya.

Yang saya lihat, grup-grup media TV di US itu tidak membuat situs video-sharing. Mereka lebih memilih untuk membuat kanal khusus di websitenya yang menampilkan video tayangan acara-acara mereka.

YouTube Lokal

Jadi apakah tidak ada kesempatan untuk menjadi YouTube lokal? Ada. Tapi perjuangannya akan sangat berat. Misal nih ya, akhirnya tantangan-tantangan di atas bisa dihadapi. Terus situsnya fokus ke audience di Indonesia. Lalu situsnya diisi dengan video-video yang bagus-bagus, yang cuma tersedia di situs tersebut. Apa yang terjadi? Dalam hitungan menit kemungkinan besar video tersebut sudah ada yang upload ulang ke YouTube. Yang bikin kesel, malah video di YouTube itu yang akhirnya populer.

Ya.., intinya berat sih kalau mau jadi YouTube lokal. Eh, mereka tadi tidak mau jadi seperti YouTube ya katanya?

1 Comment

Add yours

  1. ini nich opini yg pesimistis..

    berkaca ke ln, di china alibaba bisa sukses seklas ebay
    youku mengalahkan youtube di china
    vk mengalahkan fb di rusia

    intinya gimana kebijakan pemerintah, klo mau memajukan start up lokal, mau fb, twitter, google termasuk youtube di blokir, toh ga dapat pajak dari mereka

    klo mereka sanggup n mampu bayar pajak, baru di biarin..

    salam beken a.k.a terkenal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *